Kalau bukan karena perkelahian di balai desa, bisa jadi
roman ini mengikuti kisah romeo juliet dan kisah-kisah cinta tak sampai
lainnya. Ya, sebuah perkelahian yang menjadi pemecah kebuntuan komunikasi dua
keluarga, lebih tepatnya dua orang tua selama 40 tahun. Ah, jangan lupa,
sebungkus rokok yang mencairkan kekakuan obrolan dua sahabat lama soal
kehidupan masa lalu, juga masa depan anak mereka.
Sebelumnya, buntunya komunikasi dua keluarga ini hampir
membuat Mif dan Fauzia putus asa dalam memperjuangkan cinta mereka berdua.
Perbedaan ideologi dalam beragama di dua keluarga tersebut (awalnya) dianggap
sebagai tantangan terbesar dalam kisah cinta mereka. Mif yang anak seorang
pimpinan Muhammadiyah hendak mempersunting Fauzia yang anak pimpinan Nahdatul
Ulama. Sebuah hal yang hampir mustahil terlaksana
.
Meski dalam perjalanannya, terkuak juga kalau konflik dua
sahabat ini bukan sekadar persoalan perbedaan ideologi, namun berkembang
menjadi persaingan memperebutkan seorang perempuan. Bukan sekadar ketegangan antara
tradisi versus modernitas, tapi juga soal gengsi.
Melalui Mif dan Fauzia lah, Mahfud Ikhwan, penulis roman ini
mencoba menampilkan konflik sosial antara dua organisasi keagamaan terbesar
yang masih terjadi. Melalui sebuah kisah cinta, tergambarlah kehidupan sosial
masyarakat yang hidup berdampingan dalam sebuah perbedaan.
Sebagai novel yang memenangkan sayembara Dewan Kesenian
Jakarta, roman ini membuktikan pada pembaca kualitas seorang Mahfud Ikhwan
dalam dunia kesusastraan Indonesia. Narasi yang mengalir, pergantian sudut
pandang yang rapi, dan kedalaman materi membuktikan kalau roman ini tidak
dikerjakan dengan mudah. Dibutuhkan riset lapangan yang cukup untuk
menggambarkan bagaimana kehidupan dua ideologi itu hidup berdampingan.
Dalam sebuah diskusi di Owl House Coffee dua pekan lalu,
Mahfud Ikhwan sendiri mengungkapkan kalau ia sendiri memerlukan bertanya pada
beberapa orang terkait materi yang diangkatnya ini. “Meski saya hidup dalam
lingkungan seperti itu, saya tetap perlu menanyakan beberapa hal pada orang
yang lebih paham,” jelas Mahfud.
Memainkan alur maju mundur, jalan cerita novel ini sangat
sulit ditebak. Ditambah pergantian sudut pandang dari tokoh-tokoh yang ada,
kemampuan penulis menggali informasi dari tokoh-tokoh yang kemudian muncul
semakin membuktikan kualitas naskah yang ditulis dalam kurun 10 tahun ini.
Novel ini semakin kontekstual ketika anda baca disaat-saat
seperti ini. Menjelang lebaran, akan hadir perdebatan mengenai penentuan 1
syawal. Setiap malam ramadan, akan ada dua jemaah yang solat tarawih dengan 11
rakaat maupun 23 rakaat. Artinya, perubahan generasi tidak lantas membuat
perbedaan-perbedaan dalam praktik keagamaan itu menjadi tidak relevan.
Dan dalam hal inilah, Mahfud dianggap mampu menampilkan
perbedaan itu dalam porsi yang adil. Meski Mahfud sendiri menyatakan bahwa dia
sendiri memijakkan kaki di salah satu sisi. “Seandainya anda baca dengan
teliti, anda akan tahu dimana saya berdiri,” tegas Mahfud. Kalau begitu,
silahkan anda baca sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar