Awal Agustus lalu, di beranda fesbuk saya bertebaran
tautan-tautan nggak jelas soal kenaikan harga rokok. Tidak tanggung-tanggung,
rokok naik jadi Rp 50 ribu mulai hari ini saudara-saudara. Lima puluh ribu
rupiah. Dengan judul bombastis “Kebijakan Pemerintah!! Mulai Hari ini Harga
Rokok Naik Menjadi Rp.50.000/Bungkus” tautan itu dibagikan oleh banyak teman
fesbuk saya yang tidak merokok.
Persoalannya, begitu saya buka tautan tersebut, tidak
dijelaskan data atau fakta yang menunjukkan keputusan pemerintah soal kebijakan
menaikkan harga rokok ini. Semua yang tertulis di tautan itu cuma opini tanpa
disertai pernyataan dari pemerintah.
Artikel dalam tautan itu hanya berisi laporan seorang
peneliti dari Universitas Indonesia terkait akan turunnya jumlah perokok jika
harga rokok dinaikkan hingga angka 50 ribu rupiah. Hal ini, menurutnya,
disetujui oleh 80% respondennya. Tidak hanya itu, artikel itu menyebutkan
pemerintah akan mendapat tambahan dana Rp 70 triliun jika menaikkan harga rokok
menjadi Rp 50 ribu.
Namun, jika anda membuka tautan tersebut, tidak ada sama
sekali pernyataan pemerintah terkait kenaikan harga rokok. Jangankan menaikkan
sekadar tanggapan saja tidak ada. Inilah kemudian yang membingungkan, tidak ada
korelasi antara judul dan isi berita. Padahal, jika mau mengikuti kaidah
jurnalistik yang benar, judul sebuah artikel setidaknya harus memuat penjelasan
dari judul itu sendiri.
Hal ini nantinya akan membuktikan kualitas sebuah media.
Jika cuma membuat judul bombastis tanpa bisa mempertanggungjawabkan isi
artikelnya sih kelasnya media abal-abal. Media nggak juntrung yang bisanya
hanya membohongi publik untuk mendapatkan klik yang banyak. Apalagi jika tidak
memeiliki keredaksian yang jelas. Makin jelaslah betapa abal-abalnya
media-media macam ini.
Parahnya, tautan jenis inilah yang paling sering disebarkan
para pengguna fesbuk. Tanpa mau buang waktu untuk sekadar membuka dan membaca
isi tautan tersebut, mereka dengan mudahnya terkecoh judul bombastis hanya
karena kebencian terhadap sesuatu. Kejadian seperti ini tidak hanya terjadi
pada persoalan rokok, tapi juga banyak perkara lain yang mencerminkan
ketidaksukaan terhadap sesuatu.
Hal ini, boleh dibilang menjadi pertanda bahwa kelompok anti
tembakau ternyata tidak ada beda dengan kelompok-kelompok penyebar kebencian
lainnya di dunia maya. Bermodalkan domain dan template web sederhana, serta
sedikit kemampuan mengobarkan kebencian tentunya, kelompok-kelompok semacam ini
dengan mudahnya menyerang pihak yang tidak sejalan dengan mereka.
Yang ideal memang ketika menyebarkan sebuah tautan kita
baiknya membaca isi tautan itu secara tuntas. Agar nantinya tautan yang disebar
tidak menimbulkan kegaduhan belaka. Sebagai netizen yang cerdas tentu kita
harus waspada terhadap sebuah tautan, jangan sampai mudah tertipu hanya karena
judul yang bombastis. Dan yang terpenting, jangan menjadi orang yang sekadar
membagikan sebuah tautan hingga menjadi viral tanpa tahu isi tautan tersebut.
Sialnya, karena menjadi viral, berita palsu semacam ini
kemudian menjadi perbincangan dan dijadikan rujukan berita untuk media arus utama
lainnya. Mereka menanyakan pandangan dalam berita palsu tadi kepada para tokoh
dan menjadikannya berita. Kadang, si tokoh yang diwawancara tidak paham atau
malah tidak ada sangkut pautnya dengan isu terkait. Dan lebih sialnya lagi, si
tokoh menjawab pertanyaan wartawan dengan serius dan jadilah sebuah berita di
media arus utama.
Pada kasus ini, ‘hoax’
kemudian ditanya ke sejumlah tokoh seperti Wakil Gubernur Jakarta yang
dengan santainya menyatakan setuju dengan isi tautan itu tanpa paham
konsekuensinya. Tanpa memahami konsekuensi kenaikan harga rokok menjadi Rp 50
ribu sebungkus. Hanya bisa iya iya sepakat yang penting muncul di berita.
Belum lagi persoalan survei yang disampaikan tautan itu.
Dari mana si peneliti UI itu bisa mendapatkan angka Rp 70 triliun jika cukai
naik? Dan terkait mereka yang setuju harga rokok dinaikkan, siapa saja yang
disurvei? Apa cuma ditanyakan pada mereka yang tidak merokok? Itu sih sama saja
menanyakan kinerja pemerintah pada masyarakat yang tidak suka Jokowi.
Cobalah sesekali terjun ke lapangan. Tanyakan pada para
petani tembakau, buruh di pabrik rokok, dan perokok apakah mereka sepakat
dengan apa yang anda survei. Jangan cuma ditanya sama yang benci rokok. Itu sih
bukan penelitian namanya.
Padahal, kenaikan rokok menjadi Rp 50 ribu hanya bisa
terjadi jika cukai dinaikkan sekian kali lipat dan beban produksi bertambah
tinggi. Itu pun jika negara ini siap dengan konsekuensi yang tidak main-main
Dengan mewacanakan hoax itu menjadi kebijakan, negara ini
saya pastikan akan kehilangan salah satu sumber pemasukan terbesarnya. Ketika
cukai dinaikkan begitu tinggi, tentu saja industri tidak bakal sanggup
menyediakan dana talangan untuk membelinya. Dinaikkan 15% pada tahun ini saja
sudah membuat industri lesu, pendapatan cukai semester pertama tidak mencapai
target. Bagaimana jika dinaikkan sekian kali lipat hingga harga rokok
perbungkus menjadi Rp 50 ribu. Jangankan dapat tambahan dana Rp 70 triliun,
bisa sama dengan pendapatan tahun lalu saja tidak.
Selain itu, industri rokok dipastikan akan lesu dan membuat
pemutusan hubungan kerja masal di sektor industri ini tidak terelakkan. Jutaan
orang akan jadi pengangguran, mati pencahariannya. Belum lagi nasib petani
tembakau yang tembakaunya tidak laku. Siapa yang mau menangung nasib mereka?
Inilah kemudian, yang menjadi dampak jika wacana dari hoax
ini dibuat jadi kebijakan. Bukannya membuat negara ini untung malah menambah
banyak masalah. Sialnya, orang yang membuat hoax ini tetap santai-santai saja
jika negara berantakan. Dan lebih sialnya, orang yang menjadikan hoax ini
sebagai wacana tidak pernah mau berpikir secara adil karena hanya mementingkan
tampil di media.
0 komentar:
Posting Komentar