Aditia Purnomo

Berebut (proyek) Ospek

Leave a Comment


Setiap tahunnya, dari sekian banyak agenda Badan Eksekutif Mahasiswa (kini lebih dikenal dengan Dema), ospek adalah salah satu yang paling dinanti. Agak berbeda dengan acara lainnya, dalam ospek ini, banyak hal yang diperebutkan. Calon kader, popularitas, dan anggaran. Ya, anggaran.

Perkara ospek memang tidak pernah sederhana. Kebanyakan orang lebih sibuk membincangkan ospek sebagai ajang perploncoan, namun perkara yang lebih mendalam dari ospek sendiri tidak banyak yang membahas. Sebagai sebuah agenda rutin yang menunjuang akademik, ospek jarang dilihat sebagai sebuah ajang politik oleh orang banyak.

Dalam hal ini, ospek adalah ladang yang subur untuk mendulang suara. Sekalipun (biasanya) pemilihan raya (pemira) ketua BEM dilakukan pada akhir tahun atau awal tahun, yang artinya masih cukup lama, tapi pada ajang inilah orang-orang yang menjadi kandidat berupaya mendapat simpati dari maba. Bukan cuma soal mendulang suara untuk pemira, tapi juga untuk mendapatkan kader baru nan segar untuk mengikuti organisasi para senior yang terlibat di ospek.

Selain itu, satu hal yang juga diperebutkan pada ospek adalah anggaran. Tentunya anggaran dalam jumlah besar yang disediakan untuk menjalankan ospek. Seandainya saja, ada 5 ribu mahasiswa baru yang diwajibkan membayar biaya ospek sebesar 100 ribu, anggaran yang akan didapatkan untuk keseluruhan agenda ospek bisa mencapai Rp 500.000.000.

Dan dengan anggaran yang besar ini, hampir setiap tahunnya persoalan transparansi anggaran tidak pernah berjalan dengan benar.  Laporan pertanggungjawaban yang terlalu lambat dikerjakan, anggaran-anggaran yang tidak dapat dibuktikan, dan yang paling jelas adalah tidak adanya keterbukaan dalam penggunaan anggaran tersebut.

Ingat, menurut bang Napi kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat, tapi juga karena ada kesempatan. Dari ketidakjelasan anggaran, bisa saja terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, mark up anggaran misalnya. Siapa tahu. Pun dengan anggaran sebesar itu, wajar saja jika muncul kecurigaan-kecurigaan yang berdasar pada ketidakterbukaan penggunaan anggaran.

Seandainya ada sisa anggaran, lantas akan dikemanakan anggaran tersebut? Apakah angka Rp. 45.000 untuk harga kaos seragam peserta sesuai dengan harga pasar? Apakah tidak terjadi mark up?

Pertanyaan-pertanyaan ini hanya bisa dijawab jika ada keterbukaan anggaran dari pihak panitia. Tapi sekali lagi, apakah hal ini terjadi? Tidak. Jangankan untuk terbuka soal anggaran, soal tema dan teknis acara saja panitia tidak terbuka pada lembaga intra kampus seperti Unit Kegiatan Mahasiswa.

Ospek tahun ini memang cukup bermasalah. Mulai dari keributan soal statuta dan peraturan soal teknis acara yang ditolak oleh pihak kampus (padahal statuta ini sudah disepakati oleh sidang senat mahasiswa) hingga teman-teman UKM yang memilih mundur dan tidak terlibat sama sekalo dalam ospek tahun ini.

Ya, secara sederhana saya sangat memahami kenapa UKM memilih mundur, dan saya mendukung penuh hal ini. Karena, perkara mundurnya UKM dari ospek bukan hanya soal tidak dilibatkan sejak awal, hanya dijadikan pelengkap dalam ospek, dan tidak banyak memiliki suara dalam ospek. Tapi juga karena tidak terlihatnya kekuatan Eksekutif Mahasiswa untuk mempertahankan statuta yang harusnya dijalankan, dan lebih memilih apa mau rektorat. Jelas lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan.


Harusnya, sebagai pihak yang memiliki banyak kepentingan pada ospek, Eksekutif Mahasiswa harus berani bertarung dengan rektorat untuk memperjuangkan statuta yang dibuat mahasiswa, untuk kedaulatan Eksekutif Mahasiswa. Jangan sampai, nantinya eksekutif mahasiswa lebih memilih diam dan “asal bapak senang” karena (proyek) ospek sudah didapatkan. Jangan sampai.
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar