Setiap tahunnya, dari sekian banyak agenda Badan Eksekutif
Mahasiswa (kini lebih dikenal dengan Dema), ospek adalah salah satu yang paling
dinanti. Agak berbeda dengan acara lainnya, dalam ospek ini, banyak hal yang
diperebutkan. Calon kader, popularitas, dan anggaran. Ya, anggaran.
Perkara ospek memang tidak pernah sederhana. Kebanyakan
orang lebih sibuk membincangkan ospek sebagai ajang perploncoan, namun perkara
yang lebih mendalam dari ospek sendiri tidak banyak yang membahas. Sebagai
sebuah agenda rutin yang menunjuang akademik, ospek jarang dilihat sebagai
sebuah ajang politik oleh orang banyak.
Dalam hal ini, ospek adalah ladang yang subur untuk
mendulang suara. Sekalipun (biasanya) pemilihan raya (pemira) ketua BEM
dilakukan pada akhir tahun atau awal tahun, yang artinya masih cukup lama, tapi
pada ajang inilah orang-orang yang menjadi kandidat berupaya mendapat simpati
dari maba. Bukan cuma soal mendulang suara untuk pemira, tapi juga untuk
mendapatkan kader baru nan segar untuk mengikuti organisasi para senior yang
terlibat di ospek.
Selain itu, satu hal yang juga diperebutkan pada ospek
adalah anggaran. Tentunya anggaran dalam jumlah besar yang disediakan untuk
menjalankan ospek. Seandainya saja, ada 5 ribu mahasiswa baru yang diwajibkan
membayar biaya ospek sebesar 100 ribu, anggaran yang akan didapatkan untuk
keseluruhan agenda ospek bisa mencapai Rp 500.000.000.
Dan dengan anggaran yang besar ini, hampir setiap tahunnya
persoalan transparansi anggaran tidak pernah berjalan dengan benar. Laporan pertanggungjawaban yang terlalu
lambat dikerjakan, anggaran-anggaran yang tidak dapat dibuktikan, dan yang
paling jelas adalah tidak adanya keterbukaan dalam penggunaan anggaran
tersebut.
Ingat, menurut bang Napi kejahatan terjadi bukan hanya
karena ada niat, tapi juga karena ada kesempatan. Dari ketidakjelasan anggaran,
bisa saja terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, mark up anggaran misalnya. Siapa tahu. Pun dengan anggaran sebesar
itu, wajar saja jika muncul kecurigaan-kecurigaan yang berdasar pada
ketidakterbukaan penggunaan anggaran.
Seandainya ada sisa anggaran, lantas akan dikemanakan
anggaran tersebut? Apakah angka Rp. 45.000 untuk harga kaos seragam peserta
sesuai dengan harga pasar? Apakah tidak terjadi mark up?
Pertanyaan-pertanyaan ini hanya bisa dijawab jika ada
keterbukaan anggaran dari pihak panitia. Tapi sekali lagi, apakah hal ini
terjadi? Tidak. Jangankan untuk terbuka soal anggaran, soal tema dan teknis
acara saja panitia tidak terbuka pada lembaga intra kampus seperti Unit
Kegiatan Mahasiswa.
Ospek tahun ini memang cukup bermasalah. Mulai dari
keributan soal statuta dan peraturan soal teknis acara yang ditolak oleh pihak
kampus (padahal statuta ini sudah disepakati oleh sidang senat mahasiswa)
hingga teman-teman UKM yang memilih mundur dan tidak terlibat sama sekalo dalam
ospek tahun ini.
Ya, secara sederhana saya sangat memahami kenapa UKM memilih
mundur, dan saya mendukung penuh hal ini. Karena, perkara mundurnya UKM dari
ospek bukan hanya soal tidak dilibatkan sejak awal, hanya dijadikan pelengkap
dalam ospek, dan tidak banyak memiliki suara dalam ospek. Tapi juga karena
tidak terlihatnya kekuatan Eksekutif Mahasiswa untuk mempertahankan statuta
yang harusnya dijalankan, dan lebih memilih apa mau rektorat. Jelas lebih baik
diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan.
Harusnya, sebagai pihak yang memiliki banyak kepentingan
pada ospek, Eksekutif Mahasiswa harus berani bertarung dengan rektorat untuk
memperjuangkan statuta yang dibuat mahasiswa, untuk kedaulatan Eksekutif
Mahasiswa. Jangan sampai, nantinya eksekutif mahasiswa lebih memilih diam dan
“asal bapak senang” karena (proyek) ospek sudah didapatkan. Jangan sampai.
0 komentar:
Posting Komentar