Aditia Purnomo

Selamat Hari Tani, Selamat Membunuh Tani

Leave a Comment


Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau hendaki tumbuh
Engkau lebih suka membangun
Rumah dan merampas tanah
Pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia sejak masa orde baru selalu berorientasi pada pembangunan fisik kota untuk menopang kehidupan ekonomi. Pembangunan gedung-gedung pencakar langit, jalan-jalan bebas hambatan dan jalan layang-melayang dilakukan untuk mendorong masuknya modal dan berputarnya roda ekonomi. Hal ini, tentunya, memberikan dampak sendiri bagi pola pikir masyarakat untuk mencari pekerjaan.
Pembangunan pesat yang dilakukan oleh kota itu membuat masyarakat silau dengan kemewahannya. Hadirnya pabrik dan perusahaan-perusahaan yang membutuhkan “buruh” seakan memanggil mereka, para pemuda desa, untuk meninggalkan kampung halaman dan mencari kerja di kota. Hasilnya, desa ditinggalkan dan kota menjadi sumber peradaban.
Tapi kemudian, desa mulai dilirik kembali. Bukan oleh pemuda yang berkeinginan untuk menjadi petani, atau melanjutkan pekerjaan mulia orang tuanya sebagai tani, namun dilirik oleh para pengusaha yang mencari tanah murah untuk melanjutkan pembangunan. Desa dibangun, sawah dan ladang dibinasakan. Petani beralih profesi menjadi buruh.
Pada generasi saya dan yang hidup di perkotaan, menjadi petani tentu bukanlah sebuah cita-cita yang biasa didambakan. Jangankan berkeinginan menjadi petani, melihat sawah dan ladang pun sebatas diperkenalkan oleh buku sekolah dan tempelan gambar di dinding sekolah. Melihatnya secara langsung, agaknya jarang terjadi.
Tak hanya anak kota, anak desa pun mengalami nasib yang hampir serupa. Meskipun hidup dan dihidupi oleh sawah, orang tua mereka berharap anak-anak bisa mendapatkan hidup yang lebih baik dengan bersekolah, dan mendapatkan kerja di kota. Ya, kalaupun masih ada yang berharap anaknya meneruskan profesinya sebagai petani, anaknya belum tentu mau dan jumlahnya semakin sedikit.
Coba tengok anak-anak desa yang dikuliahkan bapaknya ke kota. Demi sang anak, mereka rela menjual sawah dan ladang, menjual penghidupannya agar sang anak bisa mendapatkan hidup yang lebih layak. Kalaupun masih punya tanah untuk digarap, sang anak bakal lebih memilih kerja sebagai buruh perusahaan dengan gaji yang pasti setiap bulannya.
Atau contoh yang paling nyata bisa kita lihat pada Institut Pertanian Bogor. Pernah diberitakan, bahwa banyak lulusan kampus pertanian itu yang memilih menjadi pegawai bank setelah menamatkan pendidikan di kampus pertanian. Jumlah lulusan yang berkarir di bidang pertanian pun hanya sekitar 35%, sedangkan yang lainnya memilih untuk memunggungi sawah.
Inilah hasil dari pembangunan yang dicanangkan sejak masa orba. bukan hanya berbanding lurus dengan perusakan lingkungan, tapi juga merusak pola pikir penghidupan dan kebudayaan masyarakat. Dampaknya, hampir tiap tahun negara ini bermasalah dengan ketersediaan pangan hingga harus melakukan impor-impor pada komoditas penting yang sebenarnya mematikan petani.
Ketimbang memberikan solusi nyata bagi permasalahan petani dan gagal panen yang mengintainya, pemerintah lebih sering mengambil kebijakan melarikan diri dari persoalan dengan membuka keran impor. Itu belum ditambah bagaimana konflik tanah merajalela, bagaimana lahan dan ladang dicaplok untuk pembangunan. Benar apa kata Widji Thukul, pemerintah lebih suka membangun rumah, merampas tanah.
Sungguh, di negeri tempat padi terhampar dan subur ini, jutaan rakyatnya terusir dari tanah dan kampung halamannya. Ribuan anak muda menghampar mimpi di balik tembok perusahaan, memungguni sawah yang dinanti investor baru. Selamat hari tani, selamat membunuh tani.
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar