Seandainya penyesalan tidak hadir di akhir, mungkin
orang-orang bodoh macam saya bisa saja berbahagia. Sebagai mahasiswa, saya
terbilang cukup bodoh, tentu kalau nga mau disebut benar-benar bodoh. Saya
masuk UIN Jakarta 6 tahun lalu dan masih belum keluar (baca: lulus) hingga saat
ini.
Menjadi mahasiswa fakultas dakwah adalah sebuah jaminan
untuk lulus cepat, begitu kata teman-teman. Minimal, perkara kuliah tidak akan
menjadi polemik karena tinggal masuk, duduk manis, angguk-angguk, dan ikut
ujian nilai baik sudah menanti. Maka bodohlah mereka yang kuliahnya tidak benar
di fakultas itu.
Untuk urusan ini saya terdapat pada golongan orang-orang
bodoh. Sudah 6 tahun kuliah, masih menyisakan 40-an sks yang harus
diselesaikan. Sementara rata-rata mahasiswa dakwah bisa lulus di semester 9.
Tapi ya mau gimana lagi, menyesal pun percuma. Mau menyerah
ya sayang. Eh, sayang. Ya akan saya berjuang di tahun terakhir ini.
Walaupun bodoh, setidaknya saya mau masih mau belajar. Sejak
sekolah dasar, saya suka belajar sejarah. Alasannya, nga ada alasan. Suka mah
suka aja, sayang mah sayang aja (oke ini nga nyambung).
Membaca cerita perjuangan para pejuang yang menginginkan
kemerdekaan tentu mengobarkan semangat muda (siap, Tan). Dari sekian banyak pemuda
itu, kisah Wage adalah salah satu yang saya suka.
Wage, mungkin manteman lebih kenal nama W.R Supratman,
adalah anak muda hebat yang memilih pergi dari hidupnya yang nyaman bersama
kakak iparnya yang orang belanda. Dari kakak iparnya pula Wage belajar memainkan
biola.
Wage muda pernah dikeluarkan dari sekolah belanda karena
ketahuan bukan keturunan asli belanda, Ia hanya mendapatkan tambahan nama
Rudolf dan Supratman dari kakaknya sebagai akal-akalan agar bisa sekolah di
sana. Namun Wage tak patah semangat, Ia melanjutkan pendidikannya ke sekolah
guru dan bisa menyelesaikannya seperti apa yang ingin saya selesaikan di UIN.
Wage pun pernah ditinggal nikah teman wanita belandanya, yang meminta Wage
memainkan biola pada resepsi pernikahannya.
Di Makasar, Ia tinggal bersama kakak iparnya di sana, Wage
memiliki hidup yang begitu baik. Sebagai anggota klub band, Wage terkenal dan
kerap manggung di berbagai acara. Sebagai adik ipar seorang belanda, hidupnya
pun berkecukupan. Siapa yang tidak mau menikah dengannya, eh maksud saya siapa
tidak mau hidup sepertinya.
Meski begitu, Wage muda merasa frustasi melihat kepincangan
hidup orang-orang pribumi. Tulisan-tulisan aktivis pejuang kemerdekaan yang
kerap dibacanya pun membuat Ia semakin tak nyaman dengan hidupnya saat itu.
Akhirnya Wage memutuskan kembali ke Jawa, dan menjadi wartawan di sana.
Dari pekerjaan wartawannya itulah Wage mengenal beberapa
aktivis pejuang kemerdekaan lainnya. Ia pun beberapa kali menulis artikel
tentang ketidakadilan belanda pada pribumi. Karena itu pula Ia menjadi sorotan
pihak belanda.
Kekesalannya pada belanda memuncak ketika roman yang Ia
tulis dilarang beredar oleh pemerintah kolonial. Ia cukup frustasi akan hal itu
hingga kesehatannya agak terganggu.
Beruntung, Ia mendengar kabar akan diselenggarakan sebuah
kongres oleh pemuda. Pidato-pidato serta tulisan-tulisan mengenai kongres itu
membuatnya merasa tertantang untuk berbuat sesuatu.
Disaat itulah Ia merasa gundah. Ada sesuatu yang ingin
dilakukan tapi tidak berhasil Ia lakukan. Kegelisahan itu, berhasil Ia
manfaatkan menjadi karya monumental bagi bangsa Indonesia dengan lagu
ciptaannya, Indonesia Raya.
Pada Kongres Pemuda kedua, Wage memukau para pemuda dengan
memainkan lagu ini bersama biolanya. Semua orang khidmat mendengarkan, sama seperti
saya yang tergetar jika mendengarnya.
Dua hari lalu, pada malam minggu yang melelahkan, pembukaan
Belok Kiri. Fest memainkan Indonesia Raya dalam tiga stanza seperti lirik asli
ciptaan Wage. Kami bernyanyi dengan khidmat, dan bergelora mengucap lirik yang
menyayat nasionalisme kami. Pada stanza terakhir, kami bertambah semangat dan
menyanyikan Indonesia Raya dengan semua ekspresi yang bisa kami tampilkan.
Video adegan tadi, kemudian cepat menyebar di linimasa media
sosial. Maklum, acaranya sendiri sempat menjadi trending topiq setelah beberapa
kelompok dede-dede mahasiswa fakifaki dan faksi-faksian antianti melakukan
demonstrasi menolak acara ini. Acara sendiri batal digelar di galeri cipta 2
TIM, tapi panitia dengan cepat memindahkan acara ke kantor LBH Jakarta yang
hanya sepenggal jarak dari cikini.
Dari banyaknya sebaran video itu, muncul tanggapan negatif
yang menganggap kami menghina lagu kebangsaan dengan menyanyikannya mengikuti
tiga stanza a la Wage. Mereka bilang kami menyanyikan lagu ini dengan cara yang
aneh. Sungguh sebuah kebodohan berkomentar tanpa memahami latar sejarah dari
lagu Indonesia Raya.
Saya, sekalipun bodoh, alhamdulillah mengetahui cerita Wage
karena mau belajar dari sejarah dan buku-buku alternatif yang tidak bisa saya
dapatkan dari negara. Sedangkan mereka yang menolak Belok Kiri. Fest dan
mengatakan kami melecehkan Indonesia Raya karena menyanyikannya dengan aneh
tentu tidak pernah belajar itu.
Seandainya dede-dede haemi fakifaki juga kelompok lain mau
ikut diskusi yang diselenggarakan panitia, bisa jadi kebutaan mereka tentang
gerakan kiri agak tercerahkan. Minimal, dengan diskusi ada wacana alternatif
yang bisa mereka ketahui.
Karena sebaran info dan kejadian-kejadian belakangan ini
saya jadi mudah emosi. Sejak pulang kehujanan semalam saya marah-marah melulu,
apalagi pas liat Liverpool kalah adu pinalti. Untungnya saya mahasiswa yang
baik, nga berani marah-marah sekalipun dicuekin birokrasi kampus saat mau
ngurus kuliah. Semoga saja, esok hari membuat kampus menjadi lebih bersahabat
pada saya yang kehabisan celana panjang karena kehukanan sepanjang jalan saat
pulang tadi.
0 komentar:
Posting Komentar