Aditia Purnomo

Indonesia Raya yang Dilecehkan

Leave a Comment


Seandainya penyesalan tidak hadir di akhir, mungkin orang-orang bodoh macam saya bisa saja berbahagia. Sebagai mahasiswa, saya terbilang cukup bodoh, tentu kalau nga mau disebut benar-benar bodoh. Saya masuk UIN Jakarta 6 tahun lalu dan masih belum keluar (baca: lulus) hingga saat ini.

Menjadi mahasiswa fakultas dakwah adalah sebuah jaminan untuk lulus cepat, begitu kata teman-teman. Minimal, perkara kuliah tidak akan menjadi polemik karena tinggal masuk, duduk manis, angguk-angguk, dan ikut ujian nilai baik sudah menanti. Maka bodohlah mereka yang kuliahnya tidak benar di fakultas itu.

Untuk urusan ini saya terdapat pada golongan orang-orang bodoh. Sudah 6 tahun kuliah, masih menyisakan 40-an sks yang harus diselesaikan. Sementara rata-rata mahasiswa dakwah bisa lulus di semester 9.

Tapi ya mau gimana lagi, menyesal pun percuma. Mau menyerah ya sayang. Eh, sayang. Ya akan saya berjuang di tahun terakhir ini.

Walaupun bodoh, setidaknya saya mau masih mau belajar. Sejak sekolah dasar, saya suka belajar sejarah. Alasannya, nga ada alasan. Suka mah suka aja, sayang mah sayang aja (oke ini nga nyambung).

Membaca cerita perjuangan para pejuang yang menginginkan kemerdekaan tentu mengobarkan semangat muda (siap, Tan). Dari sekian banyak pemuda itu, kisah Wage adalah salah satu yang saya suka.

Wage, mungkin manteman lebih kenal nama W.R Supratman, adalah anak muda hebat yang memilih pergi dari hidupnya yang nyaman bersama kakak iparnya yang orang belanda. Dari kakak iparnya pula Wage belajar memainkan biola.

Wage muda pernah dikeluarkan dari sekolah belanda karena ketahuan bukan keturunan asli belanda, Ia hanya mendapatkan tambahan nama Rudolf dan Supratman dari kakaknya sebagai akal-akalan agar bisa sekolah di sana. Namun Wage tak patah semangat, Ia melanjutkan pendidikannya ke sekolah guru dan bisa menyelesaikannya seperti apa yang ingin saya selesaikan di UIN. Wage pun pernah ditinggal nikah teman wanita belandanya, yang meminta Wage memainkan biola pada resepsi pernikahannya.

Di Makasar, Ia tinggal bersama kakak iparnya di sana, Wage memiliki hidup yang begitu baik. Sebagai anggota klub band, Wage terkenal dan kerap manggung di berbagai acara. Sebagai adik ipar seorang belanda, hidupnya pun berkecukupan. Siapa yang tidak mau menikah dengannya, eh maksud saya siapa tidak mau hidup sepertinya.

Meski begitu, Wage muda merasa frustasi melihat kepincangan hidup orang-orang pribumi. Tulisan-tulisan aktivis pejuang kemerdekaan yang kerap dibacanya pun membuat Ia semakin tak nyaman dengan hidupnya saat itu. Akhirnya Wage memutuskan kembali ke Jawa, dan menjadi wartawan di sana.

Dari pekerjaan wartawannya itulah Wage mengenal beberapa aktivis pejuang kemerdekaan lainnya. Ia pun beberapa kali menulis artikel tentang ketidakadilan belanda pada pribumi. Karena itu pula Ia menjadi sorotan pihak belanda.

Kekesalannya pada belanda memuncak ketika roman yang Ia tulis dilarang beredar oleh pemerintah kolonial. Ia cukup frustasi akan hal itu hingga kesehatannya agak terganggu.

Beruntung, Ia mendengar kabar akan diselenggarakan sebuah kongres oleh pemuda. Pidato-pidato serta tulisan-tulisan mengenai kongres itu membuatnya merasa tertantang untuk berbuat sesuatu.

Disaat itulah Ia merasa gundah. Ada sesuatu yang ingin dilakukan tapi tidak berhasil Ia lakukan. Kegelisahan itu, berhasil Ia manfaatkan menjadi karya monumental bagi bangsa Indonesia dengan lagu ciptaannya, Indonesia Raya.

Pada Kongres Pemuda kedua, Wage memukau para pemuda dengan memainkan lagu ini bersama biolanya. Semua orang khidmat mendengarkan, sama seperti saya yang tergetar jika mendengarnya.

Dua hari lalu, pada malam minggu yang melelahkan, pembukaan Belok Kiri. Fest memainkan Indonesia Raya dalam tiga stanza seperti lirik asli ciptaan Wage. Kami bernyanyi dengan khidmat, dan bergelora mengucap lirik yang menyayat nasionalisme kami. Pada stanza terakhir, kami bertambah semangat dan menyanyikan Indonesia Raya dengan semua ekspresi yang bisa kami tampilkan.

Video adegan tadi, kemudian cepat menyebar di linimasa media sosial. Maklum, acaranya sendiri sempat menjadi trending topiq setelah beberapa kelompok dede-dede mahasiswa fakifaki dan faksi-faksian antianti melakukan demonstrasi menolak acara ini. Acara sendiri batal digelar di galeri cipta 2 TIM, tapi panitia dengan cepat memindahkan acara ke kantor LBH Jakarta yang hanya sepenggal jarak dari cikini.

Dari banyaknya sebaran video itu, muncul tanggapan negatif yang menganggap kami menghina lagu kebangsaan dengan menyanyikannya mengikuti tiga stanza a la Wage. Mereka bilang kami menyanyikan lagu ini dengan cara yang aneh. Sungguh sebuah kebodohan berkomentar tanpa memahami latar sejarah dari lagu Indonesia Raya.

Saya, sekalipun bodoh, alhamdulillah mengetahui cerita Wage karena mau belajar dari sejarah dan buku-buku alternatif yang tidak bisa saya dapatkan dari negara. Sedangkan mereka yang menolak Belok Kiri. Fest dan mengatakan kami melecehkan Indonesia Raya karena menyanyikannya dengan aneh tentu tidak pernah belajar itu.

Seandainya dede-dede haemi fakifaki juga kelompok lain mau ikut diskusi yang diselenggarakan panitia, bisa jadi kebutaan mereka tentang gerakan kiri agak tercerahkan. Minimal, dengan diskusi ada wacana alternatif yang bisa mereka ketahui.

Karena sebaran info dan kejadian-kejadian belakangan ini saya jadi mudah emosi. Sejak pulang kehujanan semalam saya marah-marah melulu, apalagi pas liat Liverpool kalah adu pinalti. Untungnya saya mahasiswa yang baik, nga berani marah-marah sekalipun dicuekin birokrasi kampus saat mau ngurus kuliah. Semoga saja, esok hari membuat kampus menjadi lebih bersahabat pada saya yang kehabisan celana panjang karena kehukanan sepanjang jalan saat pulang tadi.
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar