Aditia Purnomo

Karena Suara Tak Bisa Dipenjarakan

Leave a Comment


Saya mengenal Dolorosa Sinaga kira-kira tiga tahun yang lalu. Pertemuan pertama dan terlama terjadi di rumah sakit Fatmawati ketika Martin Aleida mengalami kecelakaan. Waktu itu, pak martin baru saja meninggalkan lokasi acara Haul Pramoedya yang saya dan teman-teman ciputat adakan.

Menjelang akhir acara haul, saya dapat kabar kalau pak Martin kecelakaan dan dilarikan ke RS Fatmawati. Daripada simpang siur, saya diutus rekan panitia mengecek ke sana, dan nyatanya pak martin terbaring di ranjang dekat pintu masuk ugd. Aduh, pak Martin sengaja ditabrak ini. Begitu pikiran saya ketika tiba.

Kondisi pak Martin cukup parah, kaki kanannya patah. Jelas saya panik, untuk acara saja kami tidak ada uang apalagi untuk rumah sakit. Beruntung, begitu selesai acara Hilmar Farid datang ke rumah sakit dan mengurus beberapa hal terkait administrasi. Kemudian banyak orang datang ke rumah sakit, melihat kondisi pak martin hingga pak Martin diistirahatkan di ruang ugd semalaman.

Di saat-saat itulah saya berjumpa bu dolo. Ia bersama suaminya, Arjuna Hutagalung hampir tiap hari datang ke rumah sakit menengok pak Martin. Setiap datang, ia membawa dan mengecek kebutuhan pak Martin, istrinya, serta teman-teman yang menemani jaga di rumah sakit.

Waktu itu saya berpikir, orang ini kuat juga. Hampir tiap hari datang ke rumah sakit setelah menjalani aktivitas yang cukup padat, dan harus pulang ke daerah Pinang Ranti yang searah dengan pondok gede. Bayangkan, rumah sakit ini ada di ujung barat daya Jakarta harus pulang ke ujing timur jakarta yang jaraknya malas saya bayangkan. Apalagi waktu itu bu Dolo harus disibukkan dengan persiapan pamerannya sendiri.

Sungguh luar biasa, mengingat saya dan kawan Jong saja yang bergiliran menemani di rumah sakit tetap merasa lelah meski hanya perlu pulang ke ciputat yang hanya sepenggal jarak.

Dan pada persiapan Belok Kiri. Fest ini, saya kembali bertemu bu Dolo dengan pandangan yang tidak berubah. Ia masih sigap pergi ke sana - sini mengurus berbagai hal untuk kesiapan acara. Seperti tak kenal lelah, mobilitasnya untuk Belok Kiri. Fest ini sangat perlu diacungi dua jempol.

Kemarin, saat dede-dede mahasiswa dari haemi dan beberapa faksi lain datang ke TIM untuk mendemo acara, bu Dolo dengan lantang mempertanyakan kenapa TIM harus kalah dengan gerombolan macam itu. Dengan kesedihan yang terpancar, Ia terus memaksa pengelola agar mengizinkan panitia menyelenggarakan konpers yang sedianya dilakukan di galeri cipta 2.

Sayang, sejak orde baru berkuasa, takut menjadi kosakata paling digemari oleh pejabat pemerintahan. Pengelola TIM bergeming takkan memberi ruang bagi panitia untuk sekadar konpers saja. Mereka takut massa akan meringsek masuk sekalipun gerombolan yang datang dan pergi itu sudah hampir seluruhnya pulang untuk makan jatah nasi bungkusnya.

Dengan amarah tertahan, bu Dolo meninggalkan pengelola bernama Imam siapalah itu. Seorang polisi juga memaksa teman-teman yang ada di depan galcip agar segera pergi biar keadaan kondusif. Brengsek betul aparat ini.

Akhirnya bu Dolo pergi dan mengupayakan agar bisa dapat tempat untuk melakukan konpers dan menyampaikan pernyataan sikap panitia perihal kronologi dan digagalkannya acara Belok Kiri. Fest ini. Sayang, setelah nego sana-sini tempat tetap tak bisa didapat. Akhirnya semua disampaikan di depan kawasan warung tenda secara terbuka.

Pernyataan sikap panitia dan kronologi bisa anda lihat di
#‎BelokKiriFest - Kronologi Tentang Pelarangan 
#BelokKiriFest - Siaran Pers Tentang Pelarangan 
#BelokKiriFest - PERNYATAAN SIKAP 

Pernyataan sikap selesai, acara pun dipindah ke LBH Jakarta. Bagaimanapun, kami tidak boleh kalah oleh ancaman dan larangan penguasa. Antusiasme dan dukungan yang ada dari teman-teman yang hadir mendukung acara ini menghidupkan kembali semangat yang dicampur dengan kekesalan.

Pembukaan acara dimulai kira-kira jam setengah 8, agak ngaret dari jadwal. Maklum, segala persiapan yang dadakan harus membuat panitia agak kerepotan. Tapi panitia sudah berjuang sekuat tenaga agar bisa membalas respon manteman yang telah hadir.

Sepanjang pembukaan, saya seperti menemukan kembali semangat kebangsaan yang lama hilang dan hanya menjadi formalitas anak bangsa. Kami belajar kembali menyanyikan Indonesia Raya dalam tiga babak (entah apa istilahnya) seperti lirik yang dibuat oleh Bung Wage. Kami pun bergembira dan menyanyikan beberapa lagu lainnya yang menggelorakan semangat kami.

Tentunya, yang paling menggembirakan, kami bisa menyaksikan Bung Besar Bilven Sandalista menyampaikan pidato yang menggetarkan jiwa. "Sudah terlalu lama bangsa ini diadu domba. Kekayaan alam dikeruk, dan akibatnya beginilah wajah Indonesia hari ini," seru Bung Bilven membakar semangat kuliah saya.

Rasanya saya mau menolak wisuda dan terus berjuang di jalan rakyat. Buat apa kuliah kalau hanya memperpanjang barisan ketakutan. Tapi pikiran itu buru-buru saya hapus sebelum dikomen mas Puthut Ea.

Acara di LBH ini adalah sebuah perlawanan sederhana yang bisa dilakukan teman-teman panitia atas kesewenang-wenangan faksi anti-antian dan ketakutan para birokrat akan keramaian. Ini adalah sebuah pembuktian bahwa suara itu tak pernah bisa dipenjarakan, seperti kata Wiji.

"suara-suara itu tak bisa dipenjarakan
di sana bersemayam kemerdekaan
apabila engkau memaksa diam
aku siapkan untukmu : pemberontakkan!"
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar