Ada sebuah narasi ‘kelam’ yang sengaja dikubur dalam-dalam
oleh ingatan keluarga saya. Sebuah narasi tentang kekejaman yang disaksikan dan dialami oleh
kakek sebagai salah satu dari ratusan ribu korban politik lahirnya orde baru. Pada
tragedi 1965, kakek ditahan oleh militer di Jepara. Bukan karena Ia komunis
atau apa, tapi karena ada ‘jari-jari’ yang menunjuknya komunis.
Tahun 1965, Nenek tengah hamil tua.
Ia mengandung ibu yang lahir sebulan setelah kakek ditangkap. Pontang-panting
nenek mengurus kelahiran ibu di tengah histeria orang-orang di kamp militer
kudus. Setelah ibu lahir, nenek menitipkannya pada kenalan di kudus. Ia sendiri
pergi ke Jepara, mengupayakan agar kakek bisa keluar dari tahanan.
Narasi ini tidak akan saya ketahui
andai saja saya tidak bersama nenek saat melihat berita soal Soeharto pada
suatu waktu setelah kuliah. Soeharto bagi nenek, adalah orang yang telah
merampas hidup yang dibangunnya bersama kakek. Penjahat yang merampas hak hidup
banyak orang bersama tentara dan antek-anteknya dengan dalih menyelamatkan
negara.
Jari telujuk, menurut nenek, adalah
senjata yang lebih mematikan ketimbang pedang saat itu. Hanya berbekal telunjuk
saja, nasib seseorang bisa ditentukan oleh aparat dan anggota militer. Melihat
darah berlinang serta kepala yang hilang dari tubuhnnya adalah hal yang biasa
terjadi pada masa itu. Jutaan orang mati, ratusan ribu lainnya menjadi korban
kekerasan. Ribuan orang dibuang, serta puluhan ribu lainnya ditahan tanpa
menjalani persidangan.
Dari narasi mengerikan inilah orde
baru lahir dan berkuasa. Sepanjang 30 tahun lebih berkuasa, orde baru berhasil
menancapkan kukunnya di palung terdalam ketakutan anak bangsa. Hanya dengan
sebuah cap ‘kiri’, seseorang bisa dianggap tidak bersih lingkungan dan bakal
menerima diskriminasi. Sepanjang itu pula, para tahanan politik yang dilepas
dari tahanan mendapatkan stempel ET pada kartu identitasnya.
Menjadi kiri adalah dosa yang tak
terampuni bagi orde baru. Melalui mitos-mitos yang diciptakan orde baru melalui
sarana budaya seperti film dan buku-buku cerita, mereka melanggengkan stigma
‘bahaya laten komunis’ dan segala frasa anti kiri lainnya. Pada tataran
kehidupan masyarakat, menjadi kiri adalah hal yang mustahil dilakukan sekalipun
melalui forum ilmiah dan diskusi akademik lainnya.
Bersamaan dengan penyebaran
ideologi orde baru, kekerasan demi kekerasan dilakukan utuk menyukseskan
ideologisasinya. Tak cuma itu, penindasan dan penghisapan, serta operasi
pembodohan dan pembungkaman melenggang tanpa penghalang.
Hari ini, setelah lebih 15 tahun
orde baru runtuh, pandangan negara terhadap kiri masih belum berubah. Sebagai
sebuah rezim, orde baru memang tumbang. Namun sebagai sistem berpikir
kekuasaan, orde baru masih menghiasi segala lini kehidupan bangsa ini. Mereka
masih ada dalam jiwa-jiwa kosong yang hidup di masa kekuasaannya.
Keyakinan dan sitgma itu dipelihara
melalui lembaga-lembaga yang ada serta diwariskan dari generasi ke generasi. Bukan
hanya hidup dalam jiwa mereka yang sudah tua, tapi juga merasuki mereka yang
tak pernah mengenal Orde Baru melalui dongeng kejayaan Orde Baru tanpa pernah
tahu hal itu dibangun di atas darah dan penindasan terhadap rakyatnya.
Untuk mengimbangi dongeng-dongeng
serta kemunafikan para orbais yang mengancam generasi baru, sudah sewajarnya
bila perlu dimuncul wacana-wacana alteratif yang mencoba menawarkan narasi
sejarah dalam sudut pandang yang berbeda. Dalih Pembunuhan Massal karya John
Roosa misalnya, menjadi salah satu pegangan wajib bagi mereka yang ingin
melihat orde baru dalam sudut pandang yang sama sekali berbeda dengan
dongeng-dongeng ciptaanya.
Sudah saatnya dongeng kejayaan Orde
Baru mulai dibedah, ditilik kembali, dan dikupas dengan kesadaran yang lebih
kritis. Mengadakan agenda-agenda serta diskusi-diskusi ilmiah dengan tujuan
membangun kesadaran politik, sosial, sejarah, dan budaya secara utuh dan
menyeluruh. Bukan sepotong-sepotong.
Dengan semangat itulah, perjuangan
melawan propaganda orde baru ini diwujudkan dalam sebuah agenda bertajuk Belok Kiri Festival. Bukan bermaksud
kekiri-kirian, tapi menjadi kiri-kanan depan-belakang, hanyalah persoalan
atribut yang tak perlu diributkan. Menjadi adil sejak dalam pikiranlah yang
menjadi kunci, agar generasi baru tidak hidup dalam hegemoni kacamata kuda a la
orde baru.
Dalam festival ini, akan
terselenggara berbagai acara seperti pameran ilustrasi komik, ngobrol politik, serta
peluncuran buku Sejarah Gerakan Kiri Indonesia yang diterbitkan oleh penerbit
Ultimus. Seluruh rangkaian acara
akan diselenggarakan di Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki pada tanggal 27
Februari – 5 Maret 2016.
Festival ini lahir sebagai
perlawanan, sebagai upaya demi meluluskan sejarah dan mencerahkan generasi yang
tumbuh agar adil sejak dalam pikiran. Karena bagi kami, jalan tak selalu lurus
belok tak selalu kanan, maka belok kiri dapat dijadikan pilihan.
0 komentar:
Posting Komentar