Ada beberapa hal yang bisa membuat mood kembali baik usai
menjalani aktifitas melelahkan. Ada yang memilih untuk tidur, jalan-jalan,
ataupun makan. Dan Efi memilih untuk menjatuhkan harapan untuk mengembalikan
mood pada pilihan ketiga, makan. Ya, waktu itu Efi baru saja menjalani hari
yang cukup melelahkan. Setelah kurang istirahat akibat banyaknya pekerjaan,
jiwa sosial Efi kembali membawanya pada aktifitas padat mengawal opa-oma
penyintas ‘65 ke Komnas HAM.
Waktu itu, para penyintas yang tengah mempersiapkan diri
untuk menghadapi Simposium Nasional harus diusir dari vila yang disewanya.
Pelakunya, siapa lagi kalau bukan ormas-ormas intoleran nan kurang piknik itu.
Karena pengusiran itu, mereka harus diungsikan ke Kantor YLB HI dan mendapat
bantuan ala kadarnya dari orang-orang yang bersolidaritas. Efi adalah salah
satu orang tersebut.
Maka setelah melewati hari yang cukup panjang, Efi mengajak
saya mencari tempat makan asik dan enak di bilangan Jakarta. Setelah
mencari-cari beberapa alternatif di aplikasi direktori makanan, kami memutuskan
untuk makan di Warung Sop Tulang Sum Sum 468 Tebet. Kami memilih tempat ini
setelah Efi, secara tidak sengaja, menemukan resto ini dari iklan layanan
fesbuk. Sungguh kebetulan yang menyenangkan.
Maka, berangkatlah kami setelah pamit kepada beberapa kawan
yang masih menjalani rapat. Ya, mau gimana lagi. Ini urusan perut. Kalau rakyat
lapar bisa-bisa terjadi keributan yang tidak biasa. Hal macam ini harus
dihindari. Sekalipun waktu itu masih berada di jam padat kendaraan, kami rela
bermacet-macetan demi segera menikmati makanan enak.
Begitu sampai, saya terpikat dengan warung ini. Tempatnya
lumayan asik, dengan beberapa poster dan gambar yang menggugah selera. Apalagi
poster tutorial menikmati Sum Sum yang baik dan benar menurut mbak-mbak cantik
yang ada di poster. Benar-benar menggugah selera. Tanpa banyak basa-basi, kami
memesan dua porsi sop sum sum tulang, dua piring nasi, dan satu porsi garang
asem iga. Minumnya, saya memilih air mineral sementara Efi memesan jeruk
hangat.
Sembari menunggu pesanan datang, kami melongok ke kedai sebelah.
Ada sebuah warung kopi yang tempatnya terbilang asik, setidaknya dalam
pandangan saya. Lagi-lagu dari band Sore melantun dari warung tersebut. Saya
tidak banyak hafal lagu-lagu Sore, tapi setidaknya masih bisa menikmati alunan
musik yang enak barang sekadar menentramkan hati dari gejolak lapar dari dalam
perut.
Ketika pesanan tiba, pemutar musik dari warung kopi sebelah
memutarkan lagu berjudul Sssst… dari Sore. Sungguh momen yang tepat, sudah
saatnya menghentikan obrolan tak tentu arah dengan Efi dan waktunya menyantap
hidangan di depan mata. Hmmmm, menggugah selera.
Di hadapan kami, telah berjejer sop sum sum tulang dan
garang asem iga untuk dinikmati. Tentunya, sebelum kalap dan menghabisi apa
yang ada di meja makan, sejenak saya memanjatkan doa kepada Tuhan atas karunia
dan nikmat yang telah diberikan. Bismillahirahmanirahim. Selamat makan.
Sebagai menu pembuka, saya mencicip kuah dari kedua hidangan
yang ada. Mulai dari sop sum sum, dilanjut ke garang asem. Untuk kuah sop sum
sum, saya tidak merasakan sesuatu yang terlalu berbeda dari rasanya. Tetap
segar sebagaimana sop enak lainnya. Tapi rasa yang ditawarkan kuah garang asem
sungguh keterlaluan enaknya. Saya agak bingung menjelaskan, sekilas agak mirip
dengan kuah sayur asam enak tapi dengan level berkali-kali lipat di atasnya.
Wah, makanan ini harus segera disantap.
Sejenak, saya memperhatikan Efi. Bukan memperhatikan Efinya,
tapi bagaimana ia menikmati makanan di hadapannya. Dia pun terlihat lahap
menyantap garang asem seporsi berdua ini. Untuk sopnya, sepertinya remahan
daging dan sayur di dalamnya yang akan dihabisi. Sum sum tulang akan menjadi
penutup.
Karena itu, saya juga segera menghabiskan isian sop saya.
Kuah sayur berupa wortel dan buncis, serta irisan daging yang ada saya santap
bersama nasi putih. Entah kenapa, kelezatan nasi putih bertambah levelnya
ketika itu. Bisa jadi karena memang makanannya enak, atau kami benar-benar
lapar.
Selesai menghabiskan nasi, garang asem iga, serta pelengkap
dalam sop, kami masuk pada sajian utama, sum sum tulang. Seperti mbak-mbak
cantik yang tergambar di poster, kami menikmati sum sum iga dengan cara yang
baik dan benar menurutnya. Pertama, siramkan kuah sop ke dalam sum sum. Kedua,
aduk sum sum dengan sedotan. Terakhir, adegan paling asik dari tutorialnya,
sedot senikmat seakan kamu adalah bintang iklan Nyot nyot dikenyot Nyot.
Efi tampak berkeringat ketika mempraktikkannya. Ia begitu
bersemangat mengocok isian sum sum dengan kuah. Seakan tak mau rugi, ia
menyedot sum sum tulangnya hingga tetes terakhir. Sungguh totalitas yang luar
biasa dari anak muda kiri kekinian. Tuntas sudah kewajibannya untuk meyantap
sop sum sum dengan baik dan benar.
Selesai makan, kami disambangi oleh seorang perempuan paruh
baya yang rupanya adalah pemilik tempat makan ini. Ia menanyakan kesan kami
setelah menyantap habis sajian di depan kami, dan meminta kami membuat review
di aplikasi direktori makanan yang menuntun kami kemari. Yang menyenangkan dari
permintaanya adalah: tawaran ini tidak gratis. Dengan membuat review atas
tempat makannya, kami dijanjikan untuk mendapatkan seporsi tahu gimbal.
Mendapat tawaran seperti itu, otak mahasiswa kami langsung saja mengiyakan.
Dasar semangat gratisan.
Yang jadi masalah, kami sudah teramat kenyang untuk
menghabiskan satu porsi tahu gimbal itu. Di hadapan kami, masih ada bekas-bekas
kebrutalan kami tanpa menyisakan sedikitpun makanan. Dan dengan tahu gimbal
‘hadiah’ pemilik resto, sungguh keterlaluan kami mengisi perut yang tadinya
kosong ini. Maka, sambil menurunkan tensi saya iseng mengajak ngobrol si ibu
pemilik resto.
Dari ceritanya, tempat makan ini dibuat untuk memuaskan
dahaga akan kuliner semarang yang kurang semarak di Jakarta. Menurutnya,
mungkin garang asem atau tahu petis memang cukup banyak. Tapi menu itu saja
tidak cukup untuk memuaskan dahaga akan kuliner semarang yang melimpah. Karena
itulah, ia membangun resto yang menyediakan kuliner khas semarang seperti
garang asem, babat gongso, urat gongso, tahu gimbal, serta menu-menu lainnya.
Untuk penyajian makanan, Ia tidak mau sembarangan dalam
proses pengolahannya. Untuk sop sum sum, misalnya. Setelah kuah sop dimasak, ia
akan mendiamkan makanan tersebut hingga lemak-lemak yang terkandung di kuah
mengapung ke permukaan. Setelah mengapung itulah, ia membuang lemak-lemak
tersebut dari kuah agar tidak mengganggu kenikmatan para pelanggan.
“Coba kalian lihat, nggak ada gumpalan lemak kan di
kuahnya?” ujarnya sambil menunjuk sisa kuah sop sum sum dan garang asem.
Betul, tidak ada gumpalan lemak. Selain itu, langit-langit
mulut kami pun tidak merasakan ada sisa gajih menempel karena pengolahan
seperti tadi. Betul-betul, gumam saya.
Sehabis mengobrol, perut kami tak kunjung surut. Rasa
kenyang masih menghinggapi sehingga kami hanya sempat menyicip sepotong-dua
potong tahu gimbal yang disediakan. Ini kali pertama saya menyantap makanan
yang dibuat dari tahu yang diletakkan di atas campuran adonan tepung serta
udang, serta diberi saus kacang di seluruh permukannya ini. Dan saya langsung
jatuh cinta pada makanan ini pada suapan pertama. Sungguh perjalanan kuliner yang
menyenangkan.
Sebelum pulang, saya meminta bill pada pramusaji untuk
segera dibayarkan. Saya takut nantinya akan diberikan hadiah-hadiah lagi jika
terus berlama-lama di sini. Total harga yang harus kami bayarkan adalah Rp 130
ribu. Jika dirinci, maka kami harus mengeluarkan Rp 64 ribu untuk dua porsi sum
sum, Rp 43 ribu untuk seporsi garang asem, Rp 12 ribu untuk dua porsi nasi
putih, dan masing-masing Rp 7 ribu dan Rp 4 ribu untuk jeruk hangat dan air
mineral. Harga yang lumayan untuk nikmat yang kami terima.
Ketika hendak membayar tagihan, saya melihat seorang
pramusaji membawakan seporsi sop sum sum tulang dengan dua piring nasi kepada
pengunjung yang duduk tak jauh dari kami. Melihat itu, saya iseng meminta Efi
melihat pasangan itu.
0 komentar:
Posting Komentar