Aditia Purnomo

Hikayat Sepiring Nasi dari Tempat Penjagalan

Leave a Comment


Malam itu David De Gea tampil gemilang di bawah mistar gawang. Bertubi-tubi serangan pemain depan Everton yang merepotkan barisan pertahanan Manchester United berhasil dipatahkan oleh kesigapannya. Melihat adegan demi adegan itu, seorang teman yang khusyuk duduk di depan televisi melulu mengumpat ketika pemain bertahan si setan melakukan kesalahan.

“Asu!”

Saya anteng saja menyaksikan ulah teman-teman saya, mengumpat berulang kali, seiring berulang kali juga MU digempur Everton. Toh buat apa ngoyo. Kedua tim itu bukan jagoan saya. Saya juga sedang tidak mencari nafkah dari pertandingan itu. Lagipula, niat awal kami datang ke tempat ini adalah untuk makan, bukan untuk nobar.

Oh iya, waktu itu kami tengah menunggu pesanan makanan di Warung Nasi Jagal Bapak Satar. Salah satu warung makan legendaris di daerah Bayur, Tangerang. Ketika masih SMA dulu, warung makan ini menjadi favorit anak-anak sekolah di Tangerang. Tempat ini tak pernah sepi pengunjung tiap malam, terutama pada malam minggu. Dan Kebetulan, saat kami datang, malam itu sedang ada pertandingan MU vs Everton.

Dulu ketika kali pertama datang ke tempat ini, sungguh saya tak menyangka ada warung makan di tempat seperti itu. Tempatnya sama sekali tidak strategis, menjorok ke dalam sebuah gang tempat bernaung rumah penjagalan sapi milik Dinas Pertanian Kota Tangerang. Memang tak berada persis di rumah penjagalan, namun berada tepat di depan gerbang rumah penjagalan itu.

Belakangan, lokasinya pindah ke jalan besar, namun tetap berada tak jauh dari tempat penjagalan. Di sekitaran itu, sebetulnya bukan hanya ada Warung Nasi Jagal Bapak Satar, masih ada beberapa warung makan lain. Tapi tetap saja, warung milik Bapak Satar ini adalah favorit karena kelezatan sambalnya.

“Sambalnya dimasak pakai apa sih, Mbak?”

“Ya pakai cabai lah, Mas,” ujarnya sambil tesenyum.

Sial, kalau cuma itu saya juga tahu. Tentu, umpatan ini hanya dipendam dalam hati.

Sambal goreng warung Pak Satar memang juara. Entah kenapa, meski terlihat biasa saja, namun pedas yang dihasilkannya susah untuk bertolak dari lidah. Meski mulut sudah disiram bergelas-glas air dan berbatang-batang rokok. Pun dengan mengingatnya saja, kuliner ini sudah mampu membuat lidah saya memproduksi air liur berlimpah. Bangsat, air liur saya jadi banyak ketika menulis ini.

Warung Nasi Jagal Bapak Satar menyajikan dua menu utama, yakni Nasi Jagal dan Nasi Goreng Jagal. Dua menu itu sebetulnya bisa saja anda tambah dengan kerupuk udang, emping, tempe dan tahu goreng, atau telur asin. Tapi pelengkap utama dari masakan ini tentu saja sambal goreng yang menggoyang lidah seperti lagu Ayu Ting Ting yang itu.

sambala sambala bala sambalado
terasa pedas, terasa panas
sambala sambala bala sambalado
mulut bergetar, lidah bergoyang

Sambal goreng Pak Satar sebetulnya dibuat amat sederhana: hanya cabai rawit merah yang dihaluskan lalu ditumis bersama bawang merah dengan minyak yang cukup. Mungkin ditambah dengan bumbu lain, tapi entah apa saya tidak tahu. Si Mbaknya pun tidak mau kasih tahu. Yang pasti, sekali lagi, rasanya begitu nendang.

Alamak, mari sejenak melupakan sambal sebelum mulut banjir karena air liur. Kita masuk ke santapan utamanya.

Seperti nama dan tempatnya, nasi jagal adalah seporsi nasi plus potongan daging sapi hasil penjagalan di tempat penjagalan dekat warung itu. Jadi, benar-benar daging sapi segar yang baru dipotong. Pilihan dagingnya pun tidak sembarangan, yakni bagian sandung lamur yang memiliki tekstur kenyal dan memiliki cukup banyak lemak yang biasanya digunakan untuk memasak rawon.

Potongan daging dimasak dengan kecap, seperti disemur namun tidak berkuah karena bumbu dan kecapnya benar-benar meresap ke daging. Lalu, daging “jagal” ini disajikan bersama nasi putih. Sementara untuk Nasi Goreng Jagal daging, daging “jagal” digoreng bersama nasi serta campuran sambal dan kecap. Tentunya semua hidangan tersaji dalam kondisi panas siap santap. Dan jangan lupa tambahkan sambal goreng yang aduhai itu.

* * *
Pesanan kami datang tak lama setelah Everton memastikan kekalahannya. Malam telah semakin larut. Rasa lapar kami semakin menjadi usai satu porsi Nasi Jagal dan dua porsi Nasi Goreng Jagal tersaji. Tak perlu menunggu lama, saya langsung mengambil sebutir telur asin sebagai toping. Sementara, kedua teman saya langsung menyambar kerupuk udang beserta sambal goreng merah.

Saya menyendok sambal tiga kali. Tak perlu banyak-banyak, bisa-bisa nanti lidah saya tak henti bergoyang. Tiga sendok sambal kemudian saya aduk rata dengan daging dan nasi. Setelah rata, baru nasi jagal tersebut sah untuk saya santap. Sebenarnya ritual semacam ini dilakukan sesuai selera saja, seperti halnya menyantap seporsi bubur dengan mengaduk semua toppingnya hingga rata.

Baru habis setengah, seorang teman kembali memesan Nasi Goreng Jagal. Tentu bukan untuk dibawa pulang, tapi sebagai tambahan porsinya. Tak mau kalah, saya juga melakukannya, memesan lagi seporsi nasi. Bukan. Bukan karena saya terlalu lapar atau rakus, tapi semata dilakukan untuk mengurangi rasa pedas dari sambal yang sedikit berlebihan untuk takaran saya.

Lagipula, sayang saja jika menyantap Nasi Jagal tanpa nambah. Porsinya memang dibuat nanggung—dalam ukuran saya dan teman-teman—sehingga membuat kami hampir selalu nambah jika makan di sini. Lagipula, sudah lama juga saya tidak menyantap nasi ini. Ya sekalian makan sambil ziarah kenangan masa sekolah.

Dulu sekitar 2010-an, warung pak Satar ini menjadi warung makan favorit di Kota Tangerang. Mulai dari anak sekolah, abang-abang, mbak-mbak, hingga pejabat daerah kerap makan di tempat ini. Bahkan, lantaran saking populernya, warung makan ini sering menjadi rekomendasi kuliner di beberapa media massa.

Sayang, sejak 2012 tempat ini mulai ditinggalkan pelanggannya gara-gara usai tayang sebuah reportase di televisi yang menyebut kalau warung nasi jagal ini menggunakan daging tikus. Sontak isu beredar tanpa bisa dipertanggungjawabkan. Padahal, acara itu pun pernah diisukan membuat tayangan rekayasa untuk menaikkan rating, tapi entah seperti apa benarnya. Toh kalaupun tayangannya benar, saya yakin tidak semua pedagang sampai sejahil itu. Mungkin perbandingannya 1 pedagang nakal di antara 100 yang berjualan.

Meski begitu, Nasi Jagal bukanlah sesuatu yang mudah untuk ditinggalkan. Toh isu hanyalah isu sebelum itu dibuktikan. Dan kami, para penikmat setia Nasi Jagal tetap makan di sana. Ya, walaupun tidak seramai dulu, warung Nasi Jagal tidak pernah benar-benar sepi pembeli. Memang benar, kisah hebat, apalagi yang berhubungan dengan kelezatan, tidak bisa dibungkam hanya oleh isu semacam itu.

Di lokasi yang sekarang, masih berjejer sekitar enam atau tujuh warung yang berjualan. Pun mereka tetap berjualan 24 jam seperti dulu. Dan soal rasa, tetap melenakan seperti delapan tahun yang lalu. Sama melenakannya seperti rasa yang dulu pernah ada. Nah kan, curhat.

Sebelum pulang, tak lupa kami membayar pesanan kami. Bisa diamuk warga kalau kelar makan kabur begitu saja, hehe. Dua porsi Nasi Jagal dan sebutir telur asin dihargai Rp24 ribu, sedang tiga porsi Nasi Goreng Jagal serta dua bungkus kerupuk udang dihargai Rp35 ribu. Harga satuannya, masih Rp10 ribu untuk satu porsi Nasi Jagal dan Rp11 ribu untuk Nasi Goreng Jagal. Minumnya, air putih hangat saja yang gratisan.

Karena nasi telah tandas, rokok sudah dibakar, dan yang paling penting pesanan sudah dibayar. Maka inilah saat yang tepat untuk pulang. Dalam perjalanan pulang, sembari bercanda, teman saya iseng bertanya, “Dari jaman sekolah sampai hampir DO kuliah, lu nggak pernah bawa pacar ke sini ya, Dit?”

Rasa nikmat dan puas di lidah usai makan tiba-tiba menjadi umpatan kepada Anthony, teman saya yang brengsek itu.
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar