Malam itu David De Gea tampil gemilang di bawah mistar
gawang. Bertubi-tubi serangan pemain depan Everton yang merepotkan barisan
pertahanan Manchester United berhasil dipatahkan oleh kesigapannya. Melihat
adegan demi adegan itu, seorang teman yang khusyuk duduk di depan televisi
melulu mengumpat ketika pemain bertahan si setan melakukan kesalahan.
“Asu!”
Saya anteng saja menyaksikan ulah teman-teman saya,
mengumpat berulang kali, seiring berulang kali juga MU digempur Everton. Toh
buat apa ngoyo. Kedua tim itu bukan jagoan saya. Saya juga sedang tidak mencari
nafkah dari pertandingan itu. Lagipula, niat awal kami datang ke tempat ini
adalah untuk makan, bukan untuk nobar.
Oh iya, waktu itu kami tengah menunggu pesanan makanan di
Warung Nasi Jagal Bapak Satar. Salah satu warung makan legendaris di daerah
Bayur, Tangerang. Ketika masih SMA dulu, warung makan ini menjadi favorit
anak-anak sekolah di Tangerang. Tempat ini tak pernah sepi pengunjung tiap
malam, terutama pada malam minggu. Dan Kebetulan, saat kami datang, malam itu
sedang ada pertandingan MU vs Everton.
Dulu ketika kali pertama datang ke tempat ini, sungguh saya
tak menyangka ada warung makan di tempat seperti itu. Tempatnya sama sekali
tidak strategis, menjorok ke dalam sebuah gang tempat bernaung rumah penjagalan
sapi milik Dinas Pertanian Kota Tangerang. Memang tak berada persis di rumah
penjagalan, namun berada tepat di depan gerbang rumah penjagalan itu.
Belakangan, lokasinya pindah ke jalan besar, namun tetap
berada tak jauh dari tempat penjagalan. Di sekitaran itu, sebetulnya bukan
hanya ada Warung Nasi Jagal Bapak Satar, masih ada beberapa warung makan lain.
Tapi tetap saja, warung milik Bapak Satar ini adalah favorit karena kelezatan
sambalnya.
“Sambalnya dimasak pakai apa sih, Mbak?”
“Ya pakai cabai lah, Mas,” ujarnya sambil tesenyum.
Sial, kalau cuma itu saya juga tahu. Tentu, umpatan ini
hanya dipendam dalam hati.
Sambal goreng warung Pak Satar memang juara. Entah kenapa,
meski terlihat biasa saja, namun pedas yang dihasilkannya susah untuk bertolak
dari lidah. Meski mulut sudah disiram bergelas-glas air dan berbatang-batang
rokok. Pun dengan mengingatnya saja, kuliner ini sudah mampu membuat lidah saya
memproduksi air liur berlimpah. Bangsat, air liur saya jadi banyak ketika
menulis ini.
Warung Nasi Jagal Bapak Satar menyajikan dua menu utama,
yakni Nasi Jagal dan Nasi Goreng Jagal. Dua menu itu sebetulnya bisa saja anda
tambah dengan kerupuk udang, emping, tempe dan tahu goreng, atau telur asin.
Tapi pelengkap utama dari masakan ini tentu saja sambal goreng yang menggoyang
lidah seperti lagu Ayu Ting Ting yang itu.
sambala sambala bala sambalado
terasa pedas, terasa panas
sambala sambala bala sambalado
mulut bergetar, lidah bergoyang
Sambal goreng Pak Satar sebetulnya dibuat amat sederhana:
hanya cabai rawit merah yang dihaluskan lalu ditumis bersama bawang merah
dengan minyak yang cukup. Mungkin ditambah dengan bumbu lain, tapi entah apa
saya tidak tahu. Si Mbaknya pun tidak mau kasih tahu. Yang pasti, sekali lagi,
rasanya begitu nendang.
Alamak, mari sejenak melupakan sambal sebelum mulut banjir
karena air liur. Kita masuk ke santapan utamanya.
Seperti nama dan tempatnya, nasi jagal adalah seporsi nasi
plus potongan daging sapi hasil penjagalan di tempat penjagalan dekat warung
itu. Jadi, benar-benar daging sapi segar yang baru dipotong. Pilihan dagingnya
pun tidak sembarangan, yakni bagian sandung lamur yang memiliki tekstur kenyal
dan memiliki cukup banyak lemak yang biasanya digunakan untuk memasak rawon.
Potongan daging dimasak dengan kecap, seperti disemur namun
tidak berkuah karena bumbu dan kecapnya benar-benar meresap ke daging. Lalu,
daging “jagal” ini disajikan bersama nasi putih. Sementara untuk Nasi Goreng
Jagal daging, daging “jagal” digoreng bersama nasi serta campuran sambal dan
kecap. Tentunya semua hidangan tersaji dalam kondisi panas siap santap. Dan
jangan lupa tambahkan sambal goreng yang aduhai itu.
* * *
Pesanan kami datang tak lama setelah Everton memastikan
kekalahannya. Malam telah semakin larut. Rasa lapar kami semakin menjadi usai
satu porsi Nasi Jagal dan dua porsi Nasi Goreng Jagal tersaji. Tak perlu
menunggu lama, saya langsung mengambil sebutir telur asin sebagai toping.
Sementara, kedua teman saya langsung menyambar kerupuk udang beserta sambal
goreng merah.
Saya menyendok sambal tiga kali. Tak perlu banyak-banyak,
bisa-bisa nanti lidah saya tak henti bergoyang. Tiga sendok sambal kemudian
saya aduk rata dengan daging dan nasi. Setelah rata, baru nasi jagal tersebut
sah untuk saya santap. Sebenarnya ritual semacam ini dilakukan sesuai selera
saja, seperti halnya menyantap seporsi bubur dengan mengaduk semua toppingnya
hingga rata.
Baru habis setengah, seorang teman kembali memesan Nasi
Goreng Jagal. Tentu bukan untuk dibawa pulang, tapi sebagai tambahan porsinya.
Tak mau kalah, saya juga melakukannya, memesan lagi seporsi nasi. Bukan. Bukan
karena saya terlalu lapar atau rakus, tapi semata dilakukan untuk mengurangi
rasa pedas dari sambal yang sedikit berlebihan untuk takaran saya.
Lagipula, sayang saja jika menyantap Nasi Jagal tanpa
nambah. Porsinya memang dibuat nanggung—dalam ukuran saya dan
teman-teman—sehingga membuat kami hampir selalu nambah jika makan di sini.
Lagipula, sudah lama juga saya tidak menyantap nasi ini. Ya sekalian makan
sambil ziarah kenangan masa sekolah.
Dulu sekitar 2010-an, warung pak Satar ini menjadi warung
makan favorit di Kota Tangerang. Mulai dari anak sekolah, abang-abang,
mbak-mbak, hingga pejabat daerah kerap makan di tempat ini. Bahkan, lantaran
saking populernya, warung makan ini sering menjadi rekomendasi kuliner di
beberapa media massa.
Sayang, sejak 2012 tempat ini mulai ditinggalkan
pelanggannya gara-gara usai tayang sebuah reportase di televisi yang menyebut
kalau warung nasi jagal ini menggunakan daging tikus. Sontak isu beredar tanpa
bisa dipertanggungjawabkan. Padahal, acara itu pun pernah diisukan membuat
tayangan rekayasa untuk menaikkan rating, tapi entah seperti apa benarnya. Toh
kalaupun tayangannya benar, saya yakin tidak semua pedagang sampai sejahil itu.
Mungkin perbandingannya 1 pedagang nakal di antara 100 yang berjualan.
Meski begitu, Nasi Jagal bukanlah sesuatu yang mudah untuk
ditinggalkan. Toh isu hanyalah isu sebelum itu dibuktikan. Dan kami, para
penikmat setia Nasi Jagal tetap makan di sana. Ya, walaupun tidak seramai dulu,
warung Nasi Jagal tidak pernah benar-benar sepi pembeli. Memang benar, kisah
hebat, apalagi yang berhubungan dengan kelezatan, tidak bisa dibungkam hanya
oleh isu semacam itu.
Di lokasi yang sekarang, masih berjejer sekitar enam atau
tujuh warung yang berjualan. Pun mereka tetap berjualan 24 jam seperti dulu.
Dan soal rasa, tetap melenakan seperti delapan tahun yang lalu. Sama
melenakannya seperti rasa yang dulu pernah ada. Nah kan, curhat.
Sebelum pulang, tak lupa kami membayar pesanan kami. Bisa
diamuk warga kalau kelar makan kabur begitu saja, hehe. Dua porsi Nasi Jagal
dan sebutir telur asin dihargai Rp24 ribu, sedang tiga porsi Nasi Goreng Jagal
serta dua bungkus kerupuk udang dihargai Rp35 ribu. Harga satuannya, masih Rp10
ribu untuk satu porsi Nasi Jagal dan Rp11 ribu untuk Nasi Goreng Jagal.
Minumnya, air putih hangat saja yang gratisan.
Karena nasi telah tandas, rokok sudah dibakar, dan yang
paling penting pesanan sudah dibayar. Maka inilah saat yang tepat untuk pulang.
Dalam perjalanan pulang, sembari bercanda, teman saya iseng bertanya, “Dari
jaman sekolah sampai hampir DO kuliah, lu nggak pernah bawa pacar ke sini ya,
Dit?”
Rasa nikmat dan puas di lidah usai makan tiba-tiba menjadi
umpatan kepada Anthony, teman saya yang brengsek itu.
0 komentar:
Posting Komentar