Aditia Purnomo

Induk Semang Bagi Kawan yang Kelaparan

Leave a Comment
"Kapan kita bisa merayakan kematian dengan canda tawa dan percaya bahwa somehow, the man who passed away ahead us way more happier than us?" ~ Isidorus Rio

Siang tadi, saya melihat kalimat di atas dari twitter seorang isidorus rio. Membacanya, saya cuma bisa menghela nafas agak dalam, mengingat hari ini bukanlah jumat yang baik. Minimal bagi saya dan teman-teman sepenongkrongan.

Tepat sebelum jumatan saya mendapatkan kabar duka dari seorang teman, yang mengabarkan kalau Mamih meninggal. Dengan agak panik, saya menanyakan keseriusan kabar ini padanya. Juga pada beberapa grup watsap berisi teman sepenongkrongan. Belum ada konfirmasi.

Saya tidak sedang melakukan prinsip verifikasi a la jurnalisme pada perkara ini. Hanya ingin memastikan bahwa kabar ini memanglah main-main, mengingat tidak satu dua kali ada kabar kematian berhembus namun yang disangkutpautkan masih segar tertawa. Sekali lagi, saya berharap ini main-main.

Selepas jumatan, baru ada konfirmasi. Bukan main-main, kabar itu benar adanya. Sial, kenapa disaat begini hal yang tidak main-main justru mengesalkan. Menyesakkan. Brengsek, kabar duka memang tidak pernah menyenangkan.

Mamih bukanlah orang biasa bagi kehidupan kami. Boleh dibilang Ia adalah induk semang bagi kawan-kawan yang kelaparan. Bagi orang lain, Ia hanyalah pedagang makanan dengan gerobak di samping kampus kami. Tapi bagi kami, mamih adalah penyelamat hidup disaat-saat yang paling genting. Saat lapar.

Makan bukanlah hal mudah bagi sebagian kami saat itu. Kami hanyalah kaum miskin kampus yang untuk makan dan ngopi saja mesti patungan. Soal rokok ya joinan. Kalau ada uang ya beli makan, kalau ngga ada ya tunggu ada yang nawarin. Kalau ngga ada yang nawarin, ya terpaksa ngutang. Kalau ngga ada yang ngutangin, ya kan ada mamih.

Begitulah kira-kira jasa besar mamih bagi sebagian kami. Kawan-kawan sepenongkrongan di jalan pesanggrahan samping kampus uin yang itu.

Mengingat mamih tentu membuat saya mengingat seorang teman, yang bila hendak makan terlebih dahulu mencuci piring kotor sebelum mengambil sendiri nasi dan lauk dari gerobak mamih. Di saat uang semakin tiris, menu nasi putih sambal pecel dan bala-bala satu biji adalah menu andalan yang bisa kami dapatkan dengan amat terjangkau. Tentu oleh kantong kami.

Dan kebiasaan ini bukan hanya ada pada generasi kami. Bahkan sebelum abang-abang aktipis mahasiswa 98 melakukan aksi menjelang reformasi, mamih sudahlah menjadi mamih yang kami kenal. Induk semang naqanaq gerakan yang datang ketika perut lapar.

Mungkin tanpa mamih, tidak akan ada demo-demo bisa yang dilakukan anak-anak uin. Mungkin tanpa mamih, anak-anak gerakan di uin hanyalah berisi mahluk astral yang tidak ketahuan bentuknya. Tanpa mamih, naq gerakan hanyalah omong kosong yang melulu kelaparan dan memilih diam di kosan.

Dan inilah dosa terbesar kami terhadap mamih, datang ketika lapar dan mau nongkrong doang. Di luar itu, kesibukan melenakan kami dari kebaikan mamih yang semakin terlupakan.

Dan hari ini, mamih pergi untuk selamanya. Belum ada hal yang bisa saya berikan untuk membalas jasa mamih. Mungkin hanya sedikit doa, semoga Ia hidup lebih bahagia setelah meninggalkan dunia ini.
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar