"Kapan kita bisa merayakan kematian dengan canda tawa dan percaya bahwa somehow, the man who passed away ahead us way more happier than us?" ~ Isidorus Rio
Siang tadi, saya melihat kalimat di atas dari twitter
seorang isidorus rio. Membacanya, saya cuma bisa menghela nafas agak dalam,
mengingat hari ini bukanlah jumat yang baik. Minimal bagi saya dan teman-teman
sepenongkrongan.
Tepat sebelum jumatan saya mendapatkan kabar duka dari
seorang teman, yang mengabarkan kalau Mamih meninggal. Dengan agak panik, saya
menanyakan keseriusan kabar ini padanya. Juga pada beberapa grup watsap berisi
teman sepenongkrongan. Belum ada konfirmasi.
Saya tidak sedang melakukan prinsip verifikasi a la
jurnalisme pada perkara ini. Hanya ingin memastikan bahwa kabar ini memanglah
main-main, mengingat tidak satu dua kali ada kabar kematian berhembus namun
yang disangkutpautkan masih segar tertawa. Sekali lagi, saya berharap ini
main-main.
Selepas jumatan, baru ada konfirmasi. Bukan main-main, kabar
itu benar adanya. Sial, kenapa disaat begini hal yang tidak main-main justru
mengesalkan. Menyesakkan. Brengsek, kabar duka memang tidak pernah
menyenangkan.
Mamih bukanlah orang biasa bagi kehidupan kami. Boleh
dibilang Ia adalah induk semang bagi kawan-kawan yang kelaparan. Bagi orang
lain, Ia hanyalah pedagang makanan dengan gerobak di samping kampus kami. Tapi
bagi kami, mamih adalah penyelamat hidup disaat-saat yang paling genting. Saat
lapar.
Makan bukanlah hal mudah bagi sebagian kami saat itu. Kami
hanyalah kaum miskin kampus yang untuk makan dan ngopi saja mesti patungan.
Soal rokok ya joinan. Kalau ada uang ya beli makan, kalau ngga ada ya tunggu
ada yang nawarin. Kalau ngga ada yang nawarin, ya terpaksa ngutang. Kalau ngga
ada yang ngutangin, ya kan ada mamih.
Begitulah kira-kira jasa besar mamih bagi sebagian kami.
Kawan-kawan sepenongkrongan di jalan pesanggrahan samping kampus uin yang itu.
Mengingat mamih tentu membuat saya mengingat seorang teman,
yang bila hendak makan terlebih dahulu mencuci piring kotor sebelum mengambil
sendiri nasi dan lauk dari gerobak mamih. Di saat uang semakin tiris, menu nasi
putih sambal pecel dan bala-bala satu biji adalah menu andalan yang bisa kami
dapatkan dengan amat terjangkau. Tentu oleh kantong kami.
Dan kebiasaan ini bukan hanya ada pada generasi kami. Bahkan
sebelum abang-abang aktipis mahasiswa 98 melakukan aksi menjelang reformasi,
mamih sudahlah menjadi mamih yang kami kenal. Induk semang naqanaq gerakan yang
datang ketika perut lapar.
Mungkin tanpa mamih, tidak akan ada demo-demo bisa yang
dilakukan anak-anak uin. Mungkin tanpa mamih, anak-anak gerakan di uin hanyalah
berisi mahluk astral yang tidak ketahuan bentuknya. Tanpa mamih, naq gerakan
hanyalah omong kosong yang melulu kelaparan dan memilih diam di kosan.
Dan inilah dosa terbesar kami terhadap mamih, datang ketika
lapar dan mau nongkrong doang. Di luar itu, kesibukan melenakan kami dari
kebaikan mamih yang semakin terlupakan.
Dan hari ini, mamih pergi untuk selamanya. Belum ada hal yang
bisa saya berikan untuk membalas jasa mamih. Mungkin hanya sedikit doa, semoga
Ia hidup lebih bahagia setelah meninggalkan dunia ini.
0 komentar:
Posting Komentar