Pengungkapan kebenaran dan keadilan tidak mengenal
kadaluarsa. Begitulah hal yang saya yakini ketika membincang permasalahan yang
terkait peristiwa 65. Tahun lalu tragedi kemanusiaan, kalau tidak mau disebut
begitu ya kita sebut saja peristiwa 65, telah berusia 50 tahun. Selama itu
pula, jutaan korban harus meratapi nasib dan hidup di bawah bayang-bayang.
Maka ketika Menteri Kordinator bidang Politik, Hukum, dan
HAM Luhut Binsar Panjaitan menginisiasi sebuah simposium nasional untuk membedah
peristiwa 65 demi mencapai rekonsiliasi nasional, tidak sedikit orang
bergembira menyambut acara ini.
Sayang, beberapa hari sebelum Simposium terjadi pembubaran
pertemuan para penyintas 65 di Cinajur yang tengah mempersiapkan diri untuk
datang sebagai undangan peserta simposium. Mereka, penyintas 65 yang rata-rata
telah berusia 60 tahun ke atas itu, dipaksa pergi dari sebuah vila yang mereka
sewa oleh kelompok-kelompok yang tidak senang dengan perkara “komunis”.
Para opa-oma yang telah sepuh ini menyambut baik keinginan pemerintah
untuk melakukan simposium. Tapi mereka pula yang pertama kali mendapatkan
kenyataan, negara ini masih belum siap menghadapi impian rekonsiliasi. Aparat
negara masih gagal melindungi mereka yang hendak terlibat dalam rekonsiliasi,
dan kembali terusir oleh kelompok intoleran.
Sekitar sebulan lalu, saya terlibat dalam agenda Belok Kiri.
Fest, sebuah festival yang diadakan dengan semangat membongkar kebohongan
propaganda orde baru. Pada festival itu pula saya melihat negara melalui
institusi-instutusi yang ada gagal melindungi kebebasan berpendapat dengan
membiarkan kelompok intoleran memaksa untuk membubarkan acara kami.
Pembubaran demi pembubaran sebenarnya telah terjadi dan
semakin gencar setelah muncul sebuah film dokumenter Jagal dan Senyap. Mereka,
kelompok intoleran serta orang-orang yang berkepentingan, tidak menyukai
keberadaan film yang mencoba mengungkap fakta, apa yang sebenarnya terjadi
setelah 65.
Peristiwa 65 yang harus dipahami oleh masyarakat adalah
bukan melulu perkara penculikan dan pembunuhan terhadap 6 Jendral dan beberapa
perwira menengah, namun juga tragedi apa yang terjadi setelahnya. Pasca 65,
Indonesia mengalami sebuah peristiwa paling kelam dalam sejarah bangsa dengan
dilakukannya pembunuhan massal terhadap mereka yang dianggap PKI atau sial
ditunjuk sebagai PKI.
Tidak sedikit jumlah orang yang dibunuh kala itu. Bahkan,
pembantaian dilakukan tidak hanya di satu atau dua lokasi, tapi di berbagai
belahan nusantara pun terjadi pembantaian. Dalam sebuah artikel yang
diterbitkan di tahun 65, Soe Hok Gie, salah satu aktivis mahasiswa yang menjadi
motor penggerak gerakan mahasiswa menggambarkan bagaimana pulau dewata yang
begitu indah terlihat begitu merah dengan banyaknya darah yang tumpah.
Tidak pernah ada data pasti berapa jumlah korban dalam
pembantaian massal tersebut. Dalam bukunya, John Roosa menjelaskan beberapa
versi korban, mulai dari 70 ribuan menurut
laporan Presiden Soekarno hingga 500 ribu sampai 1 juta korban menurut
memoar Oei Tjoe Tat. Bahkan, Pimpinan komando pembantaian massal, Sarwo Edie
pernah menyatakan telah membantai hingga 3 juta nyawa. Tentu bukan angka yang
sedikit.
Sayangnya, hal-hal ini tidak pernah diungkap secara terbuka
kepada publik. Buku-buku pelajaran sejarah masih belum berani menampilkannya.
Dan yang pasti, negara belum pernah mengakui terjadinya peristiwa itu secara
terbuka.
Pada pembukaan acara Simposium Nasional 65, Menko Polhukham
menyatakan dengan arogan bahwa negara tidak perlu meminta maaf. “Jangan ada
pikiran bahwa negara akan meminta maaf ke sana-sini, jangan pikir kami sebodoh
itu,” ujar Luhut dalam sambutannya. Lalu kolega Luhut seorang pensiunan TNI
juga, Sintong Panjaitan yang memimpin pasukan RPKAD di kawasan Pati, menyatakan
tidak ada korban jiwa sebesar itu. Bahwa apa yang dilaporkan lembaga-lembaga
HAM dan peneliti serta Komandannya sendiri, Sarwo Edhie yang juga mertua Mantan
Presiden SBY, adalah sebuah kebohongan.
“Selama saya memimpin operasi, cuma ada satu orang yang mati
ditembak oleh RPKAD karena berusaha kabur,” jelas Sintong Panjaitan.
Emosi saya begitu tersulut mendengar pernyataan-pernyataan
dari para jendral itu. Semangat oma-opa penyintas 65 yang datang untuk
memperjuangkan kebenaran seperti dilecehkan dengan ‘sambutan’ para jendral dari
agenda simposium yang mulia ini. Kemuakkan saya memuncak menyaksikan omong
kosong soal kebenaran yang (lagi-lagi) didengang-dengungkan pemerintah.
Untuk apa mengadakan simposium ini jika pemerintah, yang
terwakili oleh Luhut dan acara ini, masih saja menolak untuk mengakui telah
terjadi pembunuhan besar-besaran pada masa itu. Untuk apa simposium ini
mengupayakan rekonsiliasi jika maaf masih saja sulit terucap oleh pihak
pemerintah.
Bagi para korban, pengakuan adalah sesuatu yang penting.
Pengakuan dan permintaan maaf, akan memberi sedikit penyembuhan bagi
penderitaan mereka. Rekonsiliasi bukan cuma soal yang sudah ya sudah, bukan
sudah lupakan dan mari berjalan ke depan. Tapi rekonsiliasi adalah upaya saling
memaafkan tanpa melupakan dosa sejarah negara dan (kalau bisa) penyelesaian hukum
pada yang terlibat. Karena, pengakuan kebenaran adalah sebuah syarat mutlak
bagi rekonsiliasi.
0 komentar:
Posting Komentar