Aditia Purnomo

Sembilan Kartini Rembang Tetap Melawan

Leave a Comment


Kemarin sore, di hari yang terik dan sama sekali tak ada tanda akan turun hujan, entah kenapa muncul pelangi dari kejauhan. Sang pelangi muncul secara tiba-tiba, tanpa diduga sebelummnya, tanpa tanda-tanda alam. Ia datang menghampiri keharuan kami yang tengah berada di depan Istana Negara, mengawal sembilan perempuan perkasa memperjuangkan tanah dan hidupnya tanpa mengenal lelah.

Sejak Senin kesembilan perempuan ini tiba di depan Istana dengan satu tujuan, meminta Presiden Joko Widodo menemui mereka untuk membahas nasib tanah mereka yang hendak dikuasai pabrik semen. Mereka datang dengan tekad baja, tetap diam selama 9 hari di depan Istana sembari memasung kaki mereka di dalam adukan semen hingga membatu. Sebuah simbolisasi nekat untuk menunjukkan pada negara kalau mereka tak ingin dipasung semen.

Pada hari kedua aksi dilakukan, semen yang memasung kaki mereka dihancurkan. Berdasar saran tim medis serta permintaan dan janji Istana, aksi nekat ini dihentikan. Saat pasung semen itu dihancurkanlah, pelangi terlihat dari kejauhan di belakang para kartini yang teguh berjuang.

Haru merebak seketika, tidak sedikit orang menitikkan air mata melihat aksi mereka. Kegetiran melihat perjuangan tak kenal lelah mereka tiada bisa dilihat hanya dengan dua hari berdiri di depan Istana. Tapi tengoklah kukuhnya tenda-tenda yang mereka tiduri selama 667 hari di dekat lokasi pembangunan pabrik. Atau dengarlah cerita perjalanan Rembang – Semarang dengan berjalan kaki sejauh 100 km demi mengawal putusan gugatan mereka atas izin pertambangan pabrik semen. 100 km saudara-saudara.

Sepanjang hampir dua tahun mereka berjuang, bukan cuma lelah yang harus mereka hadapi. Tapi juga popor senapan dan kebringasan aparat yang memaksa mereka menghentikan aksi. Dan ketahuilah, ibu-ibu ini tidak pernah mundur walau harus berdarah. Walau harus terluka. Bahkan jika mati adalah pilihan terbaik, tampaknya mereka telah siap.

Yang diinginkan mereka bukanlah pekerjaan tetap menambang semen dan gaji bejibun setiap bulan. Perbaikan kesejahteraan yang diimingi hanyalah bualan belaka jika hidup yang lestari berubah menjadi nestapa bagi lingkungan. Mereka tidak butuh gaji tetap, cukup bisa menanam padi di sawah dan mengambil air yang tidak tercemar. Juga udara segar, itu saja.

Menurut Yulianti, salah satu perempuan yang memasung kakinya dengan semen, pertambangan semen di kawasan Rembang, Pati, dan sekitarnya telah membuat beberapa daerah kekeringan. Pegunungan karst yang sedianya menampung air bagi kehidupan masyarakat di sana tidak boleh ditambang karena akan merusak harmoni yang sudah ada. Ekosistem, lingkungan, dan masyarakat yang tinggal disanalah yang akan jadi korban. Yang untung, tentu saja mereka para pemodal yang mengekspliotasi kawasan ini demi semen.

“Kalau pabrik semen terus dibangun, lantas kami mau makan dan minum dari mana?” tegas Yulianti.

Sekalipun aksi memasung kaki di depan istana telah dihentikan, tapi perjuangan mereka tidak akan berhenti begitu saja. Mereka akan terus menagih janji presiden untuk bertemu, juga menuntut dihentikannya pembangunan pabrik semen di daerah mereka. Sampai kapan, tentu sampai tetes darah perjuangan terakhir.

Lagipula mereka tidak akan berjuang sendirian. Gelora dan semangat perjuangan mereka telah menginspirasi beragam gerakan lintas sektor untuk ikut turun membantu mereka. Bukan cuma mengawal, tapi memberi seggala bantuan yang diperlukan untuk mereka, para kartini dan pejuang dari rembang. Membantu ibu-ibu ini memperjuangkan daerahnya dari kehancuran ekologis.

Sekalipun mereka tahu, perjuangan ini tidak akan pernah mudah, mereka tetap saja bertahan di tenda-tenda, tetap melakukan , dan mendatangi ibu kota demi menagih janji presiden. Sekali waktu, pada awal masa pemerintahannya, presiden Jokowi pernah untuk menemui ibu-ibu ini di Rembang. Namun, pemerintah tetaplah pemerintah, janji tersebut tak pernah direalisasi Jokowi bahkan hanya dengan menemui mereka di depan istana.

Walau korporasi terus bergerak tanpa memperhatikan alam, aparat dibayar untuk melindungi perusahaan, pemerintah diam membiarkan cukong bermain uang, maka melawan adalah satu-satunya pilihan. Kalaupun keadaan berbicara lain, masyarakat hanya bisa diam, hanya yang memiliki keadilan yang mau berbicara, tenang saja. Nantinya alam juga pasti akan berbicara dengan sendirinya.
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar