Kemarin sore, di hari yang terik dan sama sekali tak ada
tanda akan turun hujan, entah kenapa muncul pelangi dari kejauhan. Sang pelangi
muncul secara tiba-tiba, tanpa diduga sebelummnya, tanpa tanda-tanda alam. Ia
datang menghampiri keharuan kami yang tengah berada di depan Istana Negara,
mengawal sembilan perempuan perkasa memperjuangkan tanah dan hidupnya tanpa
mengenal lelah.
Sejak Senin kesembilan perempuan ini tiba di depan Istana
dengan satu tujuan, meminta Presiden Joko Widodo menemui mereka untuk membahas
nasib tanah mereka yang hendak dikuasai pabrik semen. Mereka datang dengan
tekad baja, tetap diam selama 9 hari di depan Istana sembari memasung kaki
mereka di dalam adukan semen hingga membatu. Sebuah simbolisasi nekat untuk
menunjukkan pada negara kalau mereka tak ingin dipasung semen.
Pada hari kedua aksi dilakukan, semen yang memasung kaki
mereka dihancurkan. Berdasar saran tim medis serta permintaan dan janji Istana,
aksi nekat ini dihentikan. Saat pasung semen itu dihancurkanlah, pelangi terlihat
dari kejauhan di belakang para kartini yang teguh berjuang.
Haru merebak seketika, tidak sedikit orang menitikkan air
mata melihat aksi mereka. Kegetiran melihat perjuangan tak kenal lelah mereka
tiada bisa dilihat hanya dengan dua hari berdiri di depan Istana. Tapi
tengoklah kukuhnya tenda-tenda yang mereka tiduri selama 667 hari di dekat
lokasi pembangunan pabrik. Atau dengarlah cerita perjalanan Rembang – Semarang
dengan berjalan kaki sejauh 100 km demi mengawal putusan gugatan mereka atas
izin pertambangan pabrik semen. 100 km saudara-saudara.
Sepanjang hampir dua tahun mereka berjuang, bukan cuma lelah
yang harus mereka hadapi. Tapi juga popor senapan dan kebringasan aparat yang
memaksa mereka menghentikan aksi. Dan ketahuilah, ibu-ibu ini tidak pernah
mundur walau harus berdarah. Walau harus terluka. Bahkan jika mati adalah
pilihan terbaik, tampaknya mereka telah siap.
Yang diinginkan mereka bukanlah pekerjaan tetap menambang
semen dan gaji bejibun setiap bulan. Perbaikan kesejahteraan yang diimingi
hanyalah bualan belaka jika hidup yang lestari berubah menjadi nestapa bagi
lingkungan. Mereka tidak butuh gaji tetap, cukup bisa menanam padi di sawah dan
mengambil air yang tidak tercemar. Juga udara segar, itu saja.
Menurut Yulianti, salah satu perempuan yang memasung kakinya
dengan semen, pertambangan semen di kawasan Rembang, Pati, dan sekitarnya telah
membuat beberapa daerah kekeringan. Pegunungan karst yang sedianya menampung
air bagi kehidupan masyarakat di sana tidak boleh ditambang karena akan merusak
harmoni yang sudah ada. Ekosistem, lingkungan, dan masyarakat yang tinggal
disanalah yang akan jadi korban. Yang untung, tentu saja mereka para pemodal
yang mengekspliotasi kawasan ini demi semen.
“Kalau pabrik semen terus dibangun, lantas kami mau makan
dan minum dari mana?” tegas Yulianti.
Sekalipun aksi memasung kaki di depan istana telah
dihentikan, tapi perjuangan mereka tidak akan berhenti begitu saja. Mereka akan
terus menagih janji presiden untuk bertemu, juga menuntut dihentikannya pembangunan
pabrik semen di daerah mereka. Sampai kapan, tentu sampai tetes darah
perjuangan terakhir.
Lagipula mereka tidak akan berjuang sendirian. Gelora dan
semangat perjuangan mereka telah menginspirasi beragam gerakan lintas sektor
untuk ikut turun membantu mereka. Bukan cuma mengawal, tapi memberi seggala
bantuan yang diperlukan untuk mereka, para kartini dan pejuang dari rembang.
Membantu ibu-ibu ini memperjuangkan daerahnya dari kehancuran ekologis.
Sekalipun mereka tahu, perjuangan ini tidak akan pernah
mudah, mereka tetap saja bertahan di tenda-tenda, tetap melakukan , dan
mendatangi ibu kota demi menagih janji presiden. Sekali waktu, pada awal masa
pemerintahannya, presiden Jokowi pernah untuk menemui ibu-ibu ini di Rembang.
Namun, pemerintah tetaplah pemerintah, janji tersebut tak pernah direalisasi
Jokowi bahkan hanya dengan menemui mereka di depan istana.
0 komentar:
Posting Komentar