Aditia Purnomo

Seberapa penting kretek untuk Indonesia?

Leave a Comment

Kemarin saya dihubungi dua wartawan terkait isu pertembakauan dan wacana menolak RUU Pertembakauan. Kurang lebih, mereka mempertanyakan kontribusi tembakau pada bangsa dan negara juga menanyakan perbandingan antara dampak tembakau terhadap masyarakat dengan penerimaan negara dari cukai rokok.

Wacana menolak RUU Pertembakauan dan stigma buruk rokok memang tengah mengemuka setelah Kompas mengangkatnya menjadi liputan utama di halaman muka hariannya. Di halaman muka, tertulis jika JKN terbebani karena penyakit yang diakibatkan rokok. Hal ini yang kerap disebut sebagai dampak tembakau terhadap masyarakat.

Jadi begini, salah satu alasan kenapa Indonesia tidak meratifikasi FCTC adalah karena Negara memiliki kepentingan yang besar pada tembakau. Pertanyaan seberapa penting tembakau terhadap negara dapat terjawab dengan catatan penerimaan negara dari cukai dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Daerah pun kebagian Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).

Pada tahun 2016, cukai rokok mencapai angka Rp 136,5 Triliun. PPn sekitar Rp 20 Triliun. PDRP besarannya 10% dari cukai, artinya senilai RP 13,6 Triliun. Kalau ditotal, kurang lebih mencapai angka Rp 160 Triliun dalam setahun. Itu pun belum termasuk pajak industri dan orang-orang yang bekerja di dalamnya.

Untuk masyarakat, ada sekitar 30 juta orang yang hidupnya bergantung pada industri ini. Baik secara langsung atau tak langsung. Melihat besaran angka-angka tersebut, saya rasa sudah selesailah penjelasan soal penting atau tidaknya industri kretek bagi bangsa dan negara.

Lalu soal JKN dan dampak rokok bagi masyarakat. Penghitungan dampak dan kerugian akibat penyakit mematikan seperti jantung dan kanker selalu menjadikan rokok sebagai faktor tunggal. Padahal kedua penyakit tadi disebabkan oleh banyak hal dan tak melulu disebabkan oleh rokok.

Sebagai contoh begini, lima negara dengan rasio penderita Kanker terbesar adalah Denmark, Irlandia, Australia, Selandia Baru, dan Belgia. Dan kelima negara tersebut sama sekali tidak masuk dalam 10 besar negara dengan perokok terbanyak. Kalau mengikuti logika rokok selalu menyebabkan penyakit kanker, harusnya China adalah negara yang memiliki rasio penderita kanker terbesar. Bukannya Denmark.

Di sinilah cacat penghitungan dampak akibat rokok terlihat. Mereka yang mengatakan kalau pemasukan negara dari rokok sama sekali tak sebanding dengan besaran biaya yang harus dikeluarkan karena dampaknya selalu menghitung semua penyakit berbahaya pasti disebabkan rokok. Padahal ya tidak begitu.

Mau bukti yang lebih dekat, mari kita lihat kasus mantan Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedianingsih. Beliau adalah seorang yang hidup di lingkungan kerja tanpa asap rokok. Suaminya adalah orang yang aktif di dunia kesehatan pula. Jadi agak sulit membayangkan Almarhum Ibu Edang terpapar asap rokok karena aktivitasnya.

Tapi orang yang jauh dari asap rokok seperti Bu Endang saja masih terkena kanker paru-paru. Kanker paru-paru ya, yang katanya selalu disebabkan oleh rokok itu. Jadi masih mengatakan kalau rokok selalu menjadi penyebab kanker?

Karena penghitungan selalu diawali dengan cacat logika seperti ini, maka tak layak angka-angka yang ditampilkan teman-teman antitembakau juga harian kompas kemarin sebagai dampak akibat rokok. Bahwa rokok menjadi faktor resiko memang betul, tapi tak melulu menjadi faktor utama penyebab penyakit mematikan.

Saya mau memberikan satu gambaran terakhir sebelum menutup[ status ini. Di Indonesia, tidak sedikit mbah-mbah yang sudah berusia lanjut masih tetap sehat dan merokok tiap harinya. Bahkan orang yang disebut sebagai tertua di dunia, Mbah Grotho, juga masih merokok hingga usia lanjut. Ini adalah salah satu bukti paling nyata bahwa persoalan kesehatan tak melulu disebabkan oleh rokok. Dan menjadi bukti bahwa tetap sehat di usia lanjut walau merokok bukanlah hal yang kasuistik karena jumlah orangnya tak bisa dibilang sedikit.


Jadi, masih mau menanyakan seberapa penting kretek untuk Indonesia?
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar