Semua bermula dari sebuah tweet dan nomor
rekening. Kala itu saya sedang menemani Pak Martin Aleida di rumah sakit. Ia
baru saja kecelakaan, kakinya patah. Dan kecelakaan itu terjadi setelah Pak
Martin menghadiri acara Haul Pram yang saya dan kawan-kawan Ciputat adakan.
Kabar kecelakaan Pak Martin menyebar. Banyak orang
yang menanyakan keadaan dan kondisinya, dan satu di antara sekian banyak orang
itu adalah Puthut EA. Melalui sebuah tweet, ia menanyakan siapa orang yang bisa
dihubungi agar bisa tahu kondisi Pak Martin. Dan seorang teman menjawab cuitan
tersebut dengan mencolek akun twitter saya.
Berdasar info tersebut, Puthut EA meminta
nomor rekening saya mungkin agar bisa mengirim sejumlah uang untuk membantu
pengobatan Pak Martin. Sayangnya, saya waktu itu belum punya rekening. Maklum,
ketika itu masih menjadi kaum miskin kampus yang jangankan punya rekening, uang
di dompet saja belum tentu punya. Setelahnya, Puthut EA datang langsung untuk
menengok Pak Martin serta mengajak saya dan kawan Jong untuk ngopi di kedai sekitaran
Ciputat.
Semenjak itu, saya kerap kali diajak ketemu,
ngopi, serta menemai Mas Puthut ketika Ia sedang ada urusan di Jakarta. Bahkan
saya pernah diundang datang ke Jogja untuk menghadiri acara peringatan 10 tahun
PEA berkarya sebagai penulis. Dari undangan inilah, saya menjadi kenal dengan
banyak anak muda hebat lain dan mulai diajak bekerja bersama di bawah Komunitas
Bahagia EA.
Ketika mengenalnya, saya sama sekali tidak
mengetahui kalau dia adalah penulis yang banyak dikenal. Malah saya lebih dulu
tahu kalau Ia adalah pendiri Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi, salah
satu organisasi gerakan mahasiswa yang lumayan besar di Indonesia. Sebagai mahasiswa
yang waktu itu masih menggilai dongeng tentang gerakan, jelas saya perlu banyak
belajar darinya.
Apalagi kemudian saya tahu bahwa orang ini
adalah salah satu pimpinan bawah tanah Partai Rakyat Demokratik yang dikecam
Orde Baru itu. Sebuah partai yang menjadi semacam dongeng ketika membicarakan
kejamnya Orde Baru. Semakin bersemangat saya mau belajar langsung dari orang
ini.
Pun ketika saya tahu bahwa dia penulis
terkenal, saya amat ingin belajar menulis darinya. Membaca berbagai kumpulan
cerpen dan tulisan-tulisannya, membuat saya tahu kualitasnya. Membuat saya tahu
bahwa dia bukan orang yang sembarangan.
Sayang, harapan itu tak pernah terwujud. Dia
bukan tipikal orang yang senang mengajari orang lain. Bahkan sebagai penulis
terkenal, ia tak pernah membagi ilmu menulisnya kepada saya yang apalah ini.
Sebagai seorang aktivis pun, tak pernah Ia mengajari saya secara langsung.
Memang banyak hal yang saya pelajari darinya.
Namun semua itu tak pernah didapat dari diskusi-diskusi formal atau kelas-kelas
yang biasa saya ikuti. Semua saya terima dari obrolan-obrolan santai sembari
ngopi atau minum minuman keras. Hampir semua saya dapatkan dalam kesenangan dan
kegembiraan ketika berkumpul bersama banyak kawan.
Sebagian lain, ilmu-ilmu dari Puthut EA saya
dapatkan ketika bekerja bersamanya. Di komunitas tempat kami bernaung, saya
belajar bahwa salah satu hal yang paling penting dalam pekerjaan adalah
gembira. Karenanya kami selalu bekerja dalam kegembiraan. Pernah satu ketika, Puthut
EA berkata seperti ini pada saya; “Anggap hasil pekerjaanmu ini sebagai anak,
baik atau tidaknya anakmu ini bergantung pada apa yang kamu lakukan.”
Dalam urusan pekerjaan, Puthut EA memang bukan
tipikal orang yang segan. Ia memang tidak banyak menuntut ketika pekerjaan
berlangsung. Namun ketika pekerjaan tak berjalan dengan baik, Ia tidak segan
untuk mengkritik dan terus mengingatkan kami untuk bekerja dengan serius. Apalagi
terkait tenggat, ia tak bisa mentolerir keterlambatan tanpa alasan yang masuk
akal.
Sebagai atasan, Puthut EA tak pernah menuntut
kesempurnaan dalam bekerja. Bahwa ada satu-dua kesalahan adalah wajar. Tapi
hal-hal semacam itu harus diminimalisir. Ia juga hanya meminta kami untuk
bekerja sewajarnya, tak perlu ngoyo dan berlebihan.
Saya beruntung, dalam tiga tahun terakhir
selalu menjadi orang yang diminta menemani Puthut EA ketika ia sedang ada
urusan di Jakarta. Apapun urusannya, saya hampir selalu diminta menemaninya.
Dari sinilah justru saya banyak belajar
darinya. Mulai dari persoalan mempersiapkan rapat, attitude, tanggung jawab, dan masih banyak lagi. Walau tak pernah
diajari secara langsung, banyak hal yang saya pelajari dari apa yang Puthut EA
lakukan. Belajar dari bukan hanya soal pekerjaan atau organisasi, juga tentang
hal-hal lain seperti membagi waktu dengan keluarga di antara kesibukannya yang
bejibun itu. Walau hanya dengan mengikuti sosoknya dari belakang, dengan menemaninya
dari agenda ke agenda, terlalu banyak hal yang saya dapatkan darinya.
Pernah suatu ketika, saat menemaninya saya
cukup banyak memegang ponsel untuk balas-membalas pesan di Whatsapp. Waktu itu
saya sedang dekat dengan perempuan. Hampir sepanjang waktu saya balas-balasan
pesan. Ketika itulah Puthut EA mengingatkan saya agar tidak lupa tanggung
jawab. Tidak melupakan hal-hal lain yang harus saya kerjakan.
Dengan menemani Puthut EA, berarti saya juga
kerap diajak dalam beberapa pertemuan yang akan ada di agendanya. Dari sinilah
kemudian saya bertemu banyak orang keren. Dan dari pertemuan-pertemuan inilah
kemudian saya semakin banyak belajar. Tentu selain ikut makan-makan dan
senang-senang.
Sayang, ada satu ilmu yang tak pernah
benar-benar bisa saya dapatkan darinya. Yakni ilmu soal bagaimana cara menggaet
perempuan dan menjalani hubungan dengan perempuan. Bahkan untuk urusan wanita,
Ia hanya pernah menyarankan agar saya tetap sendiri saja. “Revolusi butuh kamu,
Dit,” ucapnya dengan mimik serius.
Meski begitu, mengenal sosok Puthut EA adalah
salah satu hal penting dan menyenangkan dalam fase hidup saya. Saya tentu tak
bakal bisa menjadi seperti sekarang tanpa keberadaan Puthut EA. Apalagi Ia
kerap mempercayakan hal-hal penting pada saya. Mempercayakan sesuatu yang kadang
saya sendiri tak percaya bisa menyelesaikannya. Dan dari kepercayaan inilah,
saya menjadi makin berkembang dan terus belajar untuk menjadi lebih baik lagi.
Kini, tinggalah saya melunasi utang kepercayaan itu kepadanya.
Selamat Ulang Tahun, Mas. Walau hidup memang
tak pernah baik-baik saja, keadaan inilah yang terus membuat kita mau belajar.
0 komentar:
Posting Komentar