Aditia Purnomo

Sebuah Nama, Berjuta Perjuangan

Leave a Comment

Siang hari yang terik pada April 2010, empat orang mahasiswa dari ciputat, menggelar sebuah aksi yang tak lazim. Mereka, dengan kostum rok mini berumbai dan penutup bagian dada dari plastik kresek hitam, melakukan tarian dengan mempertontonkan perut mereka sebagai protes kepada anggota dewan yang terlalu sering studi banding ke luar negeri.

Salah satu dari empat peserta itu, mendapatkan perhatian yang lebih dari media. Sebagai peserta dengan perut paling menonjol, Doci, begitu Ia akrab disapa, dengan bergairah terus menggoyang tubuhnya. Sebagai aktivis, kredebilitas dan militansinya tak bisa diragukan.

Menurut Doci dalam wawancara terkait aksi itu, “Kami ingin menunjukkan bahwa masih banyak perut-perut masyarakat Indonesia yang kelaparan, meski tidak indah. Mereka malah ingin melihat perut-perut wanita cantik Eropa. Maka, kami berikan tarian perut rakyat Indonesia. Inilah perut-perut rakyat yang keroncongan, kelaparan. Kami tak akan pernah mundur. Ini bentuk protes kami, karena mereka masih tertidur,"

Dalam sebuah aksi yang berbeda, Doci melakukan aksi mogok makan. Kali ini Ia berada di garda depan untuk menyelamatkan KPK dari kriminalisasi terhadapnya. Perjuangaannya kali ini memaksanya untuk terkulai lemas dan jatuh pingsan. Meski begitu, hal ini tidak menyurutkan semangatnya untuk terus melakukan protesnya.

Di kali lain, Ia bersama rekan-rekannya, berkarnaval dari kota ke kota di pulau jawa menuju pulau dewata. Karnaval ini bukan dalam rangka senang-senang, karena bagi Doci, tak boleh ada waktu untuk berleha-leha, semua waktu harus dimaksimalkan untuk perjuangan. Agenda ini adalah bagian dari aksi besar, menolak konferensi World Trade Organization.

Di beberapa kota besar yang disinggahinya, Doci bersama rombongan mengadakan diskusi dan kajian, mengapa mereka menolak konferensi WTO. Tentu tak lupa mereka turun ke jalan di masing-masing kota untuk menggalang opini masyarakat. Sungguh aksi besar yang memakan waktu dan tenaga.

Di Bali, Doci bersama rekan-rekan dari penjuru dunia, menunaikan ibadah aksi mereka. mereka, dengan berbagai cara, mencoba menggagalkan acara para pejabat berdasi itu. Para aktivis, memblokir pelabuhan, jalan, hingga mencoba menerobos masuk ke tempat pertemuan. Sayangnya, konferensi itu tetap berjalan dan para aktivis terus dipukul mundur aparat.

Sudah selesaikah perjuangan Doci? Tentu saja tidak. Ingat, militansinya tanpa batas. Tak ada satupun yang sanggup menghentikannya ketika Ia sudah berjuang. Dalam hal apapun. Meski kembali disayangkan, Doci masih memiliki keberuntungan yang buruk dalam berjuang.

Sial memang. Sudah banyak tidak beruntung dalam perjuangan soal negara, nasibnya dalam perjuangan cinta pun tak berbeda. Dan militansinya dalam perjuangan pun tak beda. Lama menjomblo, Ia memutuskan suatu hal yang tak pernah di duga, mencintai dan mengadvokasi grup idola JKT48. Sebuah pilihan yang tak masuk akal di lingkungannya, para aktivis gahar yang menantang rezim di tengah maut.

Namun, begitulah kehidupan Doci, mahasiswa tingkat akhir yang tuna cinta. Begitu besar cintanya yang tak mampu tersalurkan, akhirnya ia mendalami ajaran cinta transit dan mulai menggemari JKT48. Pernah suatu waktu, dalam event salaman berbayar Doci memberikan sebuah kitab luhur karya Tan Malaka pada member yang lebih terkenal dari JKT48 sendiri.

Entah apa motivasinya memberikan kitab kajian yang belum tentu mahasiswa mampu membacanya pada seorang gadis SMP, namun satu yang pasti, cintanya yang besar membuat nalarnya tak berfungsi dengan baik. Lho, jelas lah, mana kuat bocah SMP baca buku Madilog Tan Malaka. Jangan sinting deh.

Tak puas dengan konsep cinta transit, Doci akhirnya menemukan wanita yang pantas dijadikan tambatan hatinya. Sebut saja gadis tak beruntung itu dengan nama Tiktik.

Pernah, Doci dengan begitu bersemangat menyiapkan hadiah kejutan buat ulang tahun Tiktik. Tak tanggung-tanggung, Ia menyiapkan 300 lembar kartu ucapan selamat yang diisi oleh 300 orang yang dipilih secara acak tanpa bermaksud mewakili rakyat Indonesia. 300 kartu ucapan selamat ulang tahun yang diharap mewakili perasaannya kepada Tiktik.

Tak cuma itu, Doci pun pernah dengan bangga, menunjukkan surat cinta yang Ia tulis tangan untuk Tiktik. Surat ajakan ketemuan agar Doci bisa menyampaikan perasaannya. “Kalau nggak ditulis tangan, nggak ada perjuangannya,” ungkap Doci kala itu.

Sayang, beberapa hari kemudian Doci datang ke kontrakan dengan lesu. Sambil menenggak “salak”, Ia pun curhat tentang penolakan Tiktik terhadapnya. Tapi dasar mental pejuang, masih sambil menenggak “salak”, Doci menyatakan tak menyerah mengejar Tiktik. “Minimal saya telah berjuang,” tegasnya.

Baginya, mencintai seseorang perlu pengorbanan yang sepadan. Karena itu, mencintai Tiktik tak serendah komplikasi cinta transitnya pada Frieska JKT48. Dan sumpahnya pada Tiktik semegah sumpah solidaritas yang Ia ucapkan ada setiap aksinya. Tapi, bung, pesanku cuma satu, coba “Pikir-pikir lagi”.

Perjuangan bukanlah permainan, Bung. Perjuangan perlu rencana dan strategi aksi yang matang. Jangan sampai kehilangan nalar karena cinta yang menggebu ketika berjuang. Selain itu, perjuangan juga penuh resiko, dalam hal cinta ialah penolakan. Maka, Bung, terimalah resiko itu, jangan memungkirinya. 
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar