November nanti ibu saya akan berusia 50. Jelas 50 bukanlah
umur sembarangan. Angka itu menunjukan kematangan, kedalaman. Selain ibu saya,
tahun ini peristiwa pembantaian massal 65 pun menginjak usia 50 tahun. Usia
yang menunjukan kedalaman rasa sakit yang dialami ribuan orang yang menjadi
korban.
Ibu dan 65 sebenarnya seperti saudara jauh. Mereka lahir
disaat yang hampir bersamaan. Ibu lahir dalam keadaan kacau setelah kakek saya
ditangkap dan dijebloskan ke penjara di jepara. Semua terjadi akibat peristiwa
65.
Nenek melahirkan ibu dalam pengungsian di kudus. Nenek harus bersusah payah sendiri melahirkan ibu dan menjaganya agar tetap hidup dalam keadaan serba tidak stabil itu. Semua dilakukan dalam tangis kering, tanpa air mata.
Menurut cerita nenek, kakek saya ditangkap karena dia
anggota barisan pendukung soekarno, sebuah organisasi yang mendukung kebijakan
anti nekolim soekarno. Kakek adalah pegawai dinas kelautan di jepara, pegawai
negeri yang hidup lumayan berkecukupan. Tapi setelah dicap komunis, Ia
dijebloskan ke penjara.
Kakek saya kemudian dibebaskan dengan jaminan seorang
kerabat yang juga seorang haji. Dengan jaminan tersebut kakek saya dibebaskan,
dan tidak pernah mendapatkan kehidupannya seperti semula.
Boleh dibilang, kakek saya jauh lebih beruntung ketimbang
tapol 65 yang lain. Pada masa itu, para tapol banyak yang disiksa dan dibunuh.
Bahkan, nenek dengan faseh bercerita kalau di masa itu telunjuk orang lebih
tajam dari sebilah pedang. Ya, dengan bermodal telunjuk, seseorang bisa dirampas
kemerdekaannya, bahkan bisa dihilangkan nyawanya.
Dalam keadaan penuh cemas itulah ibu tumbuh. 3 tahun pertama
hidupnya, Ia tak pernah merasakan kehangatan seorang ayah. Bahkan, ibu lebih
sering ditinggal nenek yang kesana-kemari berupaya membebaskan kakek. Ibu baru
bisa merasakan hidup yang sedikit tenang setelah mereka sekeluarga pindah ke
jakarta.
Berkat bantuan seorang kenalan, keluarga bisa memulai hidup baru
di Jakarta. Dengan modal yang juga tidak sedikit, kenalan itu membantu kakek
menghilangkan tanda eks tapol pada kartu penduduknya. Kemudian kakek berhasil
dinyatakan bersih diri dan bersih lingkungan. Ya, nasib baik masih menaungi keluarga. Begitu
cerita nenek.
Ya, nasib baik ini belum tentu dialami orang lain. Tidak sedikit
orang yang dibunuh kala itu. Bahkan, pembantaian dilakukan tidak hanya di satu
atau dua lokasi, tapi di berbagai belahan nusantara pun terjadi pembantaian. Dalam
sebuah artikel yang diterbitkan di tahun 65, Soe Hok Gie, salah satu aktivis
mahasiswa yang menjadi motor penggerak gerakan mahasiswa menggambarkan
bagaimana pulau dewata yang begitu indah terlihat begitu merah dengan banyaknya
darah yang tumpah.
Tidak pernah ada data pasti berapa jumlah korban dalam
pembantaian massal tersebut. Dalam bukunya, John Roosa menjelaskan beberapa
versi korban, mulai dari 70 ribuan menurut laporan Presiden Soekarno hingga 500 ribu
sampai 1 juta korban menurut memoar Oei Tjoe Tat. Bahkan, Pimpinan komando
pembantaian massal, Sarwo Edie pernah menyatakan telah membantai hingga 3 juta
nyawa. Tentu bukan angka yang sedikit.
Itu baru yang mati, belum ditambah orang-orang yang
ditangkap, dipenjarakan, disiksa, diperkosa, hingga dirampas harta kekayaan dan
kemanusiaanya. Mereka yang bertahan hidup dalam keadaan tidak manusiawi akibat
diskriminasi cap tapol dalam puluhan tahun hidupnya hingga sekarang.
Tapi semua itu sudah berlalu. Hanya sedikit orang yang mau
bersusah payah mengingat kenangan buruk itu. Meski diam, semua sepakat bahwa
tidak boleh lagi ada peristiwa berdarah macam 65. Semua rasa sakit dan pedih
yang tecipta harus dipendam dalam-dalam. Harus dikubur. Kalau ada yang mau
mengingatkan, pasti dibilang “membuka luka lama yang belum kering”.
Benar memang, 65 membawa luka. Dan luka tersebut memang
belum kering. Tapi, siapa yang tersakiti dan terluka malah dipaksa bungkam, dan
yang melukai malah mengancam dengan kalimat pamungkas luka lama belum kering. Kalau
luka itu belum sembuh ya segeralah diobati. Jangan didiamkan, sebelum menjadi borok
yang tak bisa disembuhkan.
Dan tahun ini, saya akan merayakan ulang tahun ke 50 ibu
saya. Tentunya merayakan dengan gembira fase hidup ibu saya yang berhasil
mencapai angka itu. Dan 65 pun akan merayakan 50-nya sendiri, dengan luka lama
yang tak pernah diakui oleh negaranya sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar