Menjadi perokok itu memang sebuah hal yang dipenuhi tanggung jawab. Mau
melakukan hal yang dilindungi hukum dan legal saja harus menaati banyak aturan.
Mending kalau cuma disuruh taat aturan, lah ini juga kerap diperlakukan diskriminatif
dan sewenang-wenang. Baik oleh negara maupun masyarakat.
Sebagai contoh, stereotip masyarakat yang menganggap bahwa rokok adalah
sumber utama dari segala jenis penyakit mematikan membuat kita, para perokok,
kerap dikucilkan dari pergaulan masyarakat. Bukan cuma itu, dalam beberapa
formulir pendaftaran untuk masuk sebuah lembaga, entah kampus, kantor, ataupun
yang lainnya, kita selalu dihadapkan pada pertanyaan: Apakah anda merokok?
Padahal, kalau kita mau berlaku adil sejak dalam pikiran, penyakit
mematikan macam jantung atau kanker juga
disebabkan oleh faktor-faktor dan barang konsumsi lain. Banyak makan makanan
berlemak dan kolesterol tinggi dan jarang berolahraga juga bisa menyebabkan
orang menderita penyakit itu. Atau coba cek di google negara mana yang
memiliki penderita kanker paling banyak, apa negara itu juga berada di urutan
negara dengan jumlah perokok yang besar, jawabannya adalah tidak.
Sayangnya, cara berlaku masyarakat yang lebih sering
termakan propaganda ketimbang berlaku adil sejak pikiran membuat mereka
memandang rokok sebagai sesuatu yang jahat. Karena itu mereka yang merokok
sudah pasti jahat. Paradigma macam ini mirip dengan cara masyarakat melihat
orang yang memiliki tato adalah orang yang berbahaya, dekat dengan kriminal.
Padahal, nggak semuanya begitu. Kalaupun ada, tentu tidak bisa
digeneralkan.
Padahal, banyak orang yang memiliki tato ataupun
perokok yang berlaku adil pada sekitarnya. Mereka yang tidak mau merokok di
sembarang tempat, atau mereka yang tidak
merokok jika ada anak kecil. Ya, kalau kita mau berpikir dan memandang
persoalan ini dengan jernih, kita bakal melihat bagaimana perokok sudah
berupaya menjaga hak orang lain yang tidak merokok. Tapi ya itu, hak-hak bagi
perokok sendiri tidak pernah diberikan, baik oleh negara maupun swasta.
Peraturan Rokok di Kampus
Sebagai contoh, belakangan di kampus UIN Jakarta mahasiswa yang merokok di areal
taman dan basement Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi dan Fakultas
Ushuludin dikejar-kejar dan dimaki-maki oleh seorang dosen bergelar profesor.
Dalihnya, menegakkan peraturan, karena pihak kampus sudah membuat peraturan
tidak boleh merokok di seluruh areal kampus.
Padahal, jika kampus dan dosen itu mau adil, dan mau tahu soal peraturan
tentang rokok, pada pasal 115 Undang-undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009
menyebutkan bahwa tempat-tempat umum diwajibkan menyediakan ruang merokok.
Kalau punya semangat menegakkan peraturan, mestinya juga disediakan ruang
merokok seperti yang diperintahkan konstitusi.
Kalaupun mereka yang membuat peraturan mempermasalahkan bahwa kampus
adalah lingkungan pendidikan, dan tempat macam ini harusnya bebas dari rokok,
ini hanyalah persoalan yang debatable. Sederhana, kampus diisi oleh
mahasiswa yang rata-rata usianya sudah diatas 18 tahun, sudah dewasa dan diperbolehkan
undang-undang untuk merokok. Kalau lingkungan pendidikan sekolah yang isinya
pelajar di bawah usia 18 tahun, ya nggak boleh lah. Gitu aja kok
repot.
Saya melihat, dalam perkara kampus telah sengaja bertindak lalai dengan
tidak menyediakan ruang merokok bagi sivitas akademika, tentunya bukan hanya
mahasiswa tapi juga dosen dan pegawai yang merokok. Sebenarnya ruang merokok
itu wajib disediakan sebagai upaya untuk melindungi orang yang tidak merokok
dari paparan asap rokok. Ya kalau nggak disediakan, yang terjadi adalah
tindakan otoriter dengan pelarangan tersebut.
Toh, mahasiswa dan dosen yang merokok sudah tidak merokok di tempat yang
sembarangan, mereka merokok di ruang terbuka yang sirkulasi udaranya jelas
terjadi. Sebenarnya, jika kampus sejak awal sudah menegaskan di mana tempat
para perokok, baik mahasiswa, dosen, maupun pekerja, nggak bakal ada tindakan sewenang-wenang
dari dosen cum-profesor yang seenaknya menindak mahasiswa yang merokok di taman
dan basement. Jadi, minimal dikasih tahulah buat perokok tempat di mana
mereka boleh merokok.
Sudah saatnya kampus berlaku adil bagi semua orang yang diasuhnya. Kalau
mau buat peraturan, ya dilihat landasannya, jangan sampai bertentangan dengan undang-undang.
Karena, suka ataupun tidak, rokok adalah barang legal yang memberikan pemasukan
besar bagi kas negara. Dan merokok, masihlah perbuatan yang tidak dilarang
undang-undang. Karena itulah, bagi para
penguasa di rektorat dan dekanat sana, yang tentunya para intelektual yang
tidak akan berkhianat pada hak-hak masyarakat, cobalah adil dan berikan hak
perokok di kampus.
*Pertama terbit di Tabloid Institut edisi 38
0 komentar:
Posting Komentar