Sungguh, masyarakat Indonesia ini hanyalah sekumpulan orang
mudah heboh, apalagi medianya, gampang banget hebohan kalo ada yang rame di
sosmed. Baru dengar kabar ada seorang petani mati di Lumajang saja langsung sok
mengutuk tambang, sok mengutuk pembangunan. Memangnya mereka pikir, dari dulu
hal-hal kayak gini nggak pernah terjadi. Lah wong sejarah orde baru aja
dibangun melalui pembantaian kok.
Kasus di Lumajang ini cuma soal sepele, cuma satu yang mati,
dan satu lagi kritis. Yang perlu kalian tahu, ini tuh cuma peringatan biar
nggak ada lagi yang ganggu pertambangan. Nggak ada yang ganggu pembangunan. Lah
wong tambang dan pembangunan itu yang bikin kalian hidup enak kayak sekarang,
masa dihalang-halangi sama petani. Ya habisi saja, daripada investasi yang
mati.
Toh yang dilakukan para jagal di Lumajang itu baru
pembantaian skala kecil, kecil banget malah. Dulu, para jagal mah nggak bantai
satu atau dua orang. Jutaan. Tiga juta malah kalau kata mertuanya SBY, komandan
para jagal 65 itu. Lah kalau ini, cuma dua orang korbannya, ya nggak level lah.
Lagian, kenapa sih masyarakat itu gangguin penghidupan para
jagal? Ini kan jalan hidup mereka, karena nggak punya kerjaan lain. Jadinya ya dipakai
lah mereka sama pengusaha, sama orang yang punya kepentingan buat mengamankan
pembangunan. Ingat loh, mengamankan pembangunan.
Kalau masyarakat mau menyalahkan orang, ya mbok pikir-pikir.
Jangan 10 jagal yang ditangkap polisi itu yang disalahkan. Salahin lah Jokowi,
gara-gara dia 10 orang yang nggak tahu mau kerja apa itu jadi jagal. Ya kan dia
presiden, mau siapa lagi yang disalahin karena pengangguran? Masa nyalahin
Jonru, dia mah selalu benar.
Toh kalau mau sok humanis, mencaci kelakuan para jagal ya
jangan standar ganda. Giliran ada isu presiden mau minta maaf sama keluarga
korban pembantaian 65 aja kalian mencak-mencak nggak terima. Padahal ya, Salim
Kancil dan keluarga korban pembantaian 65 sama-sama korban para jagal. Kalaupun
beda, ya cuma jumlah korban sama jumlah jagalnya. Tahun 65 itu, pembantaiannya
dilakukan secara struktural, sistematis, dan masif.
Terus soal eksekusi di ruang publik, itu mah bukan hal baru
dalam dunia perjagalan. Kalau kalian mau belajar sejarah, ya eksekusi publik
itu hal yang biasa terjadi pas masa pembantaian 65. Kalau cuma digergaji ama
disetrum doang mah biasa. Kalian nggak tahu sih kalau jagal 65 itu lebih sadis,
dari ngubur korbannya hidup-hidup sampai pancung kepala mah hal biasa. Nggak
tahu ya? Makanya belajar, jangan fesbukan dan ngeshare status Jonru mulu.
Lagian, para jagal itu udah mengingatkan pak Salim biar
nggak melawan tambang, melawan pembangunan. Eh dia masih melawan, tahu sendiri
kan akibatnya. Coba sekarang masih zamannya presiden jagal, nggak bakalan deh
ada yang berani melawan pembangunan. Wong apa-apa murah, termasuk nyawa
orang-orang kayak pak Salim itu.
Jadi, mohon ya, jangan ganggu mata pencarian orang lain.
Kalau kalian nggak mau lihat ada orang-orang kayak jagal, ya kasih mereka
pekerjaan. Jangan omong doang. Lagian kalau kalian mau dunia yang penuh
kedamaian dan keamanan, jangan banyak berharap ama polisi. Dunia kayak gitu tuh
cuma delusi, sama delusionalnya kayak wota yang berharap jadian ama member
jeketi. Mimpi doang!!!
Kalau kalian mau dunia yang begitu, harusnya kalian berharap
sama Agama, jangan polisi. Tapi ya susah juga, wong agama yang harusnya membawa
perdamaian bagi umat manusia malah jadi alat perang. Ya kalaupun nggak perang
senjata, minimal jadi bahan twitwar sama perang komen di pesbuk. Kalau nggak
percaya coba tanya Om Jonru deh.
Karena itu, daripada cuma bisa banyak mencemooh jagal,
mending kalian kerjain skripsi yang nggak kelar-kelar itu deh. Toh, mau caci
maki kayak gimana juga, kalian nggak mau ikutan aksi, kan? Mending ngerjain
skripsi biar cepet lulus daripada onani sosial media deh. Serius.
0 komentar:
Posting Komentar