Sebuah mobil berhenti mendadak di pelataran pusat kegiatan
mahasiswa kampus UIN Jakarta. Sang empunya mobil, turun tergesa, langsung
menuju lantai tiga. Sedatangnya, Ia menggebrak pintu sebuah sekretariat Pers
Mahasiswa, dan dengan nada tinggi membentak penghuninya. “Apa maksud tulisan
ini?!!!”
Adegan di atas bukanlah rekayasa, apalagi khayalan. Adegan
diatas adalah kejadian yang cukup sering terjadi pada pers mahasiswa, bukan
hanya di UIN. Si empunya mobil yang dikenal sebagai pimpinan Lembaga Pengabdian
Masyarakat, marah karena sebuah pemberitaan yang dilakukan INSTITUT, pers
mahasiswa kampus UIN, yang mengangkat laporan terkait kuliah kerja mahasiswa
yang di bawahi oleh lembaga pengabdian masyarakat kampus.
Kejadian macam ini tidak hanya terjadi sekali. Pernah suatu
ketika, datang memo dari pembantu rektor bidang kemahasiswaan terhadap pimpinan
Institut karena opini yang dimuat di tabloid Institut dianggapnya tendensius.
Ia pun menunut Institut untuk melakukan klarifikasi dan meminta maaf secara
terbuka. Jika tidak, ancaman pembantu rektor kala itu, pimpinan Institut akan
diberi skorsing 1-2 semester.
***
Pasca reformasi, media arus utama yang sebelumya tertekan
oleh rezim orde baru mengambil kembali posisi mereka sebagai referensi utama
masyarakat. Mereka yang sebelumnya tidak berani mengkritik pemerintahan, karena
takut diberedel, menjadi bersemangat meluapkan kegelisahan mereka pada negara
setelah puluhan tahun dibungkam. Tidak hanya itu, kemudian dibuat
peraturan-peraturan yang meminimalisir “kriminalisasi” media oleh siapapun yang
hendak membungkam pers.
Organisasi-organisasi pers dibentuk, salah satunya untuk
melakukan advokasi jikalau ada wartawan dikriminalisasi, ada media hendak
diberedel. Karena itu, media (arus utama) tidak lagi perlu takut terhadap
negara. Selama menjujung tinggi etika jurnalistik dan membuat berita benar,
perkara framing atau yang lain tak perlu dikhawatirkan. Mereka nggak bakal
diberedel.
Tapi hal berkebalikan terjadi pada pers mahasiswa. Selama
media arus utama dibungkam, mereka tampil sebagai penyambung lidah rakyat.
Misal, ketika media utama bungkam soal kasus tegalboto, mereka justu
mengangkatnya sebagai headline dan topik utama. Inilah masa-masa jaya persma
ketika mereka bisa tampil di depan media arus utama. Setelah reformasi, ya
persma balik lagi ke kampus, kalah saing dengan media utama.
Bukan Cuma kalah saing, persma pun tidak memiliki tempat
dalam peraturan dan organisasi-organisasi pers tadi. Jika dalam undang-undang,
jelas dinyatakan kalau seorang jurnalis dilindungi saat meliput, bagaimana
dengan jurnalis persma, apa perlakuan undang-undang sama terhadapnya?
Ini adalah perbincangan panjang, yang sampai saya tak lagi
aktif di persma, belum terjawab dengan baik. Aliansi Jurnalis Independen,
sebagai salah satu organisasi pers terdepan dalam melakukan advokasi pada
jurnalis, pernah bilang kalau hak persma sama dengan pers utama. Tapi ya itu
hanya sebatas omongan, tetap saja perlakuan terhadap persma tak semewah
perlakuan pada pers utama.
Pada kasus Lentera, Pers Mahasiswa Universitas Kristen Satya
Wacana Salatiga, beredel yang dilakukan terhadapnya jadi booming karena
kebetulan mereka mengangkat pemberitaan soal tragedi 1965. Apalagi, bulan-bulan
ini memang sedang ramai pembicaraan soal 65. Seandainya tidak, saya yakin kalau
beredel yang dilakukan terhadap Lentera tidak akan menjadi apa-apa, sama
seperti kasus-kasus yang terjadi pada persma pada umumnya.
Kalau tidak percaya, coba kita lihat pada kasus yang terjadi
pada LPM Didaktika Universitas Negeri Jakarta. Berapa banyak orang yang tahu
kalau reporter Didaktika dilaporkan ke Polda Metro Jaya oleh salah satu dosen
UNJ? Palingan hanya Forum Pers Mahasiswa Jakarta.
Sebagai orang yang terdidik dalam kultur persma, saya yakin
kalau (hampir) semua anggota persma juga terdidik untuk siap menghadapi
resiko-resiko seperti ini. Resiko yang didapat karena pemberitaan yang tidak
mampu menyenangkan semua pihak, apalagi kalau memang pihak tersebut terindikasi
melakukan kesalahan.
Sebenarnya, akar masalah dalam perkara ini adalah cara pikir
orbaisme yang masih dimiliki oleh pejabat-pejabat kampus dan dosen-dosennya.
Mereka masih saja berpikir, kalau mahasiswa pada umumnya (termasuk persma),
adalah anak ingusan yang tidak paham apa-apa. Jadi apapun yang hendak dilakukan
mahasiswa, harus disetujui oleh mereka.
Padahal, kalau kita tarik dalam konteks jurnalistik, hal-hal
macam itu adalah sebuah upaya sensor yang selalu ditolak oleh pers manapun hari
ini. Bayangkan, mau angkat berita soal korupsi kampus dilarang oleh rektorat.
Mau beritakan kinerja dosen yang jelek, dilarang. Mau beritakan buruknya
fasilitas kampus juga dilarang. Yang boleh diberitakan cuma yang bagus-bagus,
yang baik-baik. Memangnya persma itu humas kampus? Digaji kagak, minta duit
juga susah, Pret.
Hal-hal macam tadilah yang harusnya jadi fokus utama
pembahasan beredel oleh pihak kampus. Mau itu pemberitaan soal 65 ataupun
buruknya fasilitas kampus, semua harus punya porsi sama. Tidak peduli seksi
atau tidaknya isu itu, beredel adalah beredel. Jelas, yang perlu dilawan adalah
perlakuan sewenang-wenang pihak kampus, entah rektorat ataupun dosennya,
terhadap Lentera, Didaktika, Institut, dan persma lainnya.
0 komentar:
Posting Komentar