Aditia Purnomo

Pemberedelan dan Gertakan Pers Mahasiswa

Leave a Comment
Sebuah mobil berhenti mendadak di pelataran pusat kegiatan mahasiswa kampus UIN Jakarta. Sang empunya mobil, turun tergesa, langsung menuju lantai tiga. Sedatangnya, Ia menggebrak pintu sebuah sekretariat Pers Mahasiswa, dan dengan nada tinggi membentak penghuninya. “Apa maksud tulisan ini?!!!”

Adegan di atas bukanlah rekayasa, apalagi khayalan. Adegan diatas adalah kejadian yang cukup sering terjadi pada pers mahasiswa, bukan hanya di UIN. Si empunya mobil yang dikenal sebagai pimpinan Lembaga Pengabdian Masyarakat, marah karena sebuah pemberitaan yang dilakukan INSTITUT, pers mahasiswa kampus UIN, yang mengangkat laporan terkait kuliah kerja mahasiswa yang di bawahi oleh lembaga pengabdian masyarakat kampus.

Kejadian macam ini tidak hanya terjadi sekali. Pernah suatu ketika, datang memo dari pembantu rektor bidang kemahasiswaan terhadap pimpinan Institut karena opini yang dimuat di tabloid Institut dianggapnya tendensius. Ia pun menunut Institut untuk melakukan klarifikasi dan meminta maaf secara terbuka. Jika tidak, ancaman pembantu rektor kala itu, pimpinan Institut akan diberi skorsing 1-2 semester.

***

Pasca reformasi, media arus utama yang sebelumya tertekan oleh rezim orde baru mengambil kembali posisi mereka sebagai referensi utama masyarakat. Mereka yang sebelumnya tidak berani mengkritik pemerintahan, karena takut diberedel, menjadi bersemangat meluapkan kegelisahan mereka pada negara setelah puluhan tahun dibungkam. Tidak hanya itu, kemudian dibuat peraturan-peraturan yang meminimalisir “kriminalisasi” media oleh siapapun yang hendak membungkam pers.

Organisasi-organisasi pers dibentuk, salah satunya untuk melakukan advokasi jikalau ada wartawan dikriminalisasi, ada media hendak diberedel. Karena itu, media (arus utama) tidak lagi perlu takut terhadap negara. Selama menjujung tinggi etika jurnalistik dan membuat berita benar, perkara framing atau yang lain tak perlu dikhawatirkan. Mereka nggak bakal diberedel.

Tapi hal berkebalikan terjadi pada pers mahasiswa. Selama media arus utama dibungkam, mereka tampil sebagai penyambung lidah rakyat. Misal, ketika media utama bungkam soal kasus tegalboto, mereka justu mengangkatnya sebagai headline dan topik utama. Inilah masa-masa jaya persma ketika mereka bisa tampil di depan media arus utama. Setelah reformasi, ya persma balik lagi ke kampus, kalah saing dengan media utama.

Bukan Cuma kalah saing, persma pun tidak memiliki tempat dalam peraturan dan organisasi-organisasi pers tadi. Jika dalam undang-undang, jelas dinyatakan kalau seorang jurnalis dilindungi saat meliput, bagaimana dengan jurnalis persma, apa perlakuan undang-undang sama terhadapnya?

Ini adalah perbincangan panjang, yang sampai saya tak lagi aktif di persma, belum terjawab dengan baik. Aliansi Jurnalis Independen, sebagai salah satu organisasi pers terdepan dalam melakukan advokasi pada jurnalis, pernah bilang kalau hak persma sama dengan pers utama. Tapi ya itu hanya sebatas omongan, tetap saja perlakuan terhadap persma tak semewah perlakuan pada pers utama.

Pada kasus Lentera, Pers Mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, beredel yang dilakukan terhadapnya jadi booming karena kebetulan mereka mengangkat pemberitaan soal tragedi 1965. Apalagi, bulan-bulan ini memang sedang ramai pembicaraan soal 65. Seandainya tidak, saya yakin kalau beredel yang dilakukan terhadap Lentera tidak akan menjadi apa-apa, sama seperti kasus-kasus yang terjadi pada persma pada umumnya.

Kalau tidak percaya, coba kita lihat pada kasus yang terjadi pada LPM Didaktika Universitas Negeri Jakarta. Berapa banyak orang yang tahu kalau reporter Didaktika dilaporkan ke Polda Metro Jaya oleh salah satu dosen UNJ? Palingan hanya Forum Pers Mahasiswa Jakarta.

Sebagai orang yang terdidik dalam kultur persma, saya yakin kalau (hampir) semua anggota persma juga terdidik untuk siap menghadapi resiko-resiko seperti ini. Resiko yang didapat karena pemberitaan yang tidak mampu menyenangkan semua pihak, apalagi kalau memang pihak tersebut terindikasi melakukan kesalahan.

Sebenarnya, akar masalah dalam perkara ini adalah cara pikir orbaisme yang masih dimiliki oleh pejabat-pejabat kampus dan dosen-dosennya. Mereka masih saja berpikir, kalau mahasiswa pada umumnya (termasuk persma), adalah anak ingusan yang tidak paham apa-apa. Jadi apapun yang hendak dilakukan mahasiswa, harus disetujui oleh mereka.

Padahal, kalau kita tarik dalam konteks jurnalistik, hal-hal macam itu adalah sebuah upaya sensor yang selalu ditolak oleh pers manapun hari ini. Bayangkan, mau angkat berita soal korupsi kampus dilarang oleh rektorat. Mau beritakan kinerja dosen yang jelek, dilarang. Mau beritakan buruknya fasilitas kampus juga dilarang. Yang boleh diberitakan cuma yang bagus-bagus, yang baik-baik. Memangnya persma itu humas kampus? Digaji kagak, minta duit juga susah, Pret.


Hal-hal macam tadilah yang harusnya jadi fokus utama pembahasan beredel oleh pihak kampus. Mau itu pemberitaan soal 65 ataupun buruknya fasilitas kampus, semua harus punya porsi sama. Tidak peduli seksi atau tidaknya isu itu, beredel adalah beredel. Jelas, yang perlu dilawan adalah perlakuan sewenang-wenang pihak kampus, entah rektorat ataupun dosennya, terhadap Lentera, Didaktika, Institut, dan persma lainnya.
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar