Dalam sejarah, Indonesia punya berbagai persoalan
kemanusiaan yang tidak terbahas oleh dunia literasi. Ada banyak tindakan
pelanggaran HAM yang melibatkan negara dan masyarakat yang bahkan tidak
dimasukkan ke dalam buku-buku pelajaran sejarah yang dipakai oleh sistem
pendidikan kita. Karena itulah, kebutuhan akan buku-buku alternatif yang
mencoba membahas persoalan yang tidak terungkap tadi menjadi penting.
Sebagai contoh, pada masa orde baru, banyak buku-buku
alternatif terkait peristiwa kejahatan kemanusiaan yang kemudian dilarang oleh
kejaksaan. Pretext for Mass Murder: The
September 30th Movement and Suhartos Coup in Indonesia karya John Roosa,
misalnya, adalah salah satu buku yang dilarang oleh rezim orde baru.
Buku John Roosa ini adalah salah satu buku yang membahas
peristiwa 65 dengan perspektif yang berbeda dengan sejarah versi
militer/pemerintah dan menjadi buku pertama yang tidak menggunakan idiom G30S
tanpa melibatkan PKI di belakangnya.
Tentu bukan hanya buku ini yang pernah dilarang pemerintah.
Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer juga menjadi salah satu buku yang
dilarang pada masa orde baru. Buku karya Pram yang mengangkat alur perjuangan
seorang anak pribumi yang melawan kolonialisme belanda dengan menggunakan
organisasi ini juga memberi perspektif berbeda dalam sejarah perjuangan
kemerdekaan.
Jika selama orde baru, perjuangan kemerdekaan Indonesia
didominasi oleh kisah-kisah perlawanan militer, maka buku ini memberi
perspektif berbeda. Bahwa, perjuangan yang paling ampuh adalah dengan
menggerakan massa melalui organisasi. Sayangnya, buku ini dilarang hanya karena
Pram dicap komunis oleh pemerintah.
Kehidupan dunia perbukuan kembali bergairah pada awal masa
reformasi. Setelah Soeharto jatuh dari kekuasaanya, banyak buku-buku yang sebelumnya
dilarang kemudian diterbitkan oleh penerbit-penerbit indie di Jogjakarta. Des Kapital karya Karl Marx, Tetralogi Buruh
Pram, juga buku-buku soal marxisme yang pada masa orba sangat tabu dicetak oleh
mereka.
Lantas, bagaimana kehidupan buku-buku alternatif sekarang?
Tumbuhnya industri perbukuan yang menggunakan akumulasi
kampital yang besar kemudian membuat penerbit-penerbit tadi menjadi gulung
tikar. Selain karena ketidakmampuan melawan kekuatan kapital yang besar, pangsa
pasar yang disasar oleh buku-buku alternatif tadi sangat kecil. Masih sebatas
mahasiswa dan akademisi, itu pun tidak dalam jumlah besar.
Kehidupan dunia buku hari ini dikuasai oleh pasar buku
populer justru cukup menyingkirkan keberadaan buku-buku alternatif yang
memberikan perspektif sejarah/keilmuan yang jarang diterima masyarakat
Indonesia. Keberadaan Gagas Media dengan pasar pembaca teenlitnya semakin mematikan budaya membaca buku serius. Anak muda
kini lebih memilih membaca buku yang ringan.
Padahal, pengungkapan sejarah kemanusiaan Indonesia yang
kelam sangat penting untuk diketahui publik. Tak sekadar persoalan luka lama
diungkap kembali, tapi pengungkapan ini lebih menitikberatkan kepada sejarah
sebuah bangsa yang harus berani diterima. Dan buku-buku yang membahas soal ini
tidak banyak ditemukan di toko-toko buku besar macam Gramedia.
Karena itulah, keberadaan penerbit-penerbit indie seperti Marjin Kiri, Ultimus, atau
Komunitas Bambu menjadi penting. Buku-buku yang dicetak oleh penerbit tadi
tidak sekadar membahas soal sejarah yang tak terungkap, tapi juga mengetuk
kemanusiaan sebuah bangsa. Mengingat, perjuangan yang dilakukan para kru
penerbitan tadi juga luar biasa beratnya.
Penerbit Ultimus misalnya, tahun 2006 penerbit yang
bermarkas di Bandung ini pernah diserbu oleh gerombolan massa dengan dalih
pembasmian komunis. Acara diskusi yang saat itu digelar Ultimus harus terhenti
di tengah jalan. Beberapa peserta diskusi dibawa ke kantor polisi, markas Ultimus
ditutup, disegel, dan dilintangi garis batas polisi berwarna kuning.
Dengan semangat tinggi untuk menawarkan publik kepada sebuah
wacana alternatif, yang kebanyakan bersebrangan dengan kekuasaan militer dan
negara, penerbit alternatif seperti Ultimus harus hidup dalam beban berat. Sudah
dihajar oleh sistem sosial yang menolak wacana alternatif, apalagi soal kiri, pasar
buku juga tidak terlalu bersahabat.
Meski begitu, hidup melawan arus pemikiran masyarakat yang
bertolak belakang dengan gagasan yang ingin disampaikan penerbit alternatif sudah
menjadi nilai lebih yang dimiliki. Apalagi, menghidupi penerbit alternatif
bukanlah melulu soal mencari uang, tapi lebih kepada penyebaran gagasan yang
dibungkam. Sebuah usaha untuk melawan lupa, sebuah usaha untuk memanusiakan
manusia.
0 komentar:
Posting Komentar