Sepanjang 2015, terjadi 3.922 kasus kecelakaan lalu lintas
yang memakan 352 korban jiwa di Yogyakarta. Sedangkan di Jakarta, terjadi 6.231
kasus dengan jumlah korban jiwa mencapai angka 566 orang. Sementara itu,
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia masih saja mencela-cela rokok sebagai
pembunuh massal yang mematikan tanpa mau menganalisis data tersebut.
Menurut data yang dilansir WHO, kecelakaan lalu lintas
menjadi pembunuh terbesar ketiga di dunia. Secara global angka kematian
mencapai 1,24 juta jiwa dan angka ini terus meningkat dari tahun ke tahun.
Berdasar laporan dari Kepolisian RI, pada 2012 terjadi 109.038 kasus kecelakaan
dengan korban meninggal dunia sebanyak 27.441 orang, dengan potensi kerugian
sosial ekonomi sekitar Rp 203 triliun – Rp 217 triliun per tahun.
Meski angka kecelakaan beserta kerugian yang ditimbulkannya
terbilang besar, tetap saja YLKI beserta rombongan anti rokok melulu berbicara
soal rokok yang membunuh, rokok memiskinkan. Hal ini menjadi wagu mengingat
angka kematian yang disebabkan rokok dihitung berdasar kematian akibat Jantung
dan kanker, yang tidak melulu berkaitan dengan rokok.
Memang rokok adalah salah satu faktor penyebab
penyakit-penyakit tersebut, tapi tidak melulu rokok yang menjadi faktor
penyebabnya. Banyak orang yang mengalami penyakit-penyakit tersebut justru
tidak merokok, malah mantan Menteri Kesehatan Endang Sedyaningsih meninggal
karena kanker. Apakah dia merokok, tentu saja tidak.
Lalu hal-hal yang menjustifikasi rokok sebagai barang yang
tidak baik terus diproduksi. Belum lama, Badan Pusat Statistik merilis data
yang menyatakan kalau rokok dan beras adalah penyebab utama kemiskinan.
Bayangkan, beras saja sebagai kebutuhan pokok dinyatakan sebagai penyebab
kemiskinan. Apalagi rokok yang dianggap sebagai mesin pembunuh.
Seandainya mau diteliti lebih lanjut, penyebab kemiskinan
tentu tidaklah mendasar dari satu-dua faktor seperti konsumsi masyarakat
terhadap beras dan rokok. Lebih dari itu, penyebab kemiskinan teramat kompleks
dan sistemik akibat dari ketidakmampuan pemerintah menjaga harga pasar dan
memberikan kesejahteraan pada rakyatnya. Toh negara masih belum mampu memberi
pekerjaan yang layak dan menetapkan upah hidup sejahtera bagi masyarakat.
Kalaupun budaya konsumtif masyarakat mau disebut sebagai
penyebab kemiskinan, saya lebih sepakat dengan Media Wahyudi Askar yang
menyebutkan kalau kredit motor atau mobil menjadi penyebab tingginya angka
kemiskinan. Menurut mahasiswa PhD University of Manchester jurusan Development
Policy and Management ini, asumsi membayar uang muka (DP) sebesar Rp500 ribu
untuk membeli motor dalam kurun waktu sekitar 3 sampai 4 tahun mereka harus
membayar sepeda motor Rp5-6 juta lebih mahal dari harga sepeda motor yang dibeli
secara tunai. Harga yang sangat tidak ekonomis dengan jumlah bunga yang
mencapai 25 persen.
Dan memang inilah yang terjadi dalam kehidupan masyarakat
kita. Seringkali, kredit konsumsi diberikan secara mudah baik oleh bank ataupun
perusahaan dagang untuk mendapatkan pelanggan. Mungkin masyarakat melihat
sistem kredit adalah solusi untuk mendapatkan barang yang mereka inginkan,
padahal beban kredit yang cukup besar begitu membebani pengeluaran rumah tangga
mereka.
Dalam hal ini, kendaraan menjadi barang mematikan yang bukan
saja membunuh secara fisik, tapi mematikan secara ekonomi. Karena hisapan
kredit dan tanggungan utang yang harus terus dibayarkan. Jadi mana yang lebih
membunuh, rokok atau kendaraan?
Tetapi, mengutip Wahyudi Askar, teori ekonomi bukan soal
hitungan matematika. Kaya miskin tidak melulu bisa dihitung berdasar angka.
Sama seperti asumsi kalau seorang perokok menggunakan uangnya bukan untuk
membeli rokok, melainkan ditabung maka Ia bisa memiliki mobil dengan tabungan
selama 20 tahun. Asumsi yang keliru, saya kira, mengingat banyak orang yang
saya kenal tidak merokok dan bekerja selama puluhan tahun tetap saja tidak
memiliki mobil.
Pertama dimuat di Komunitas Kretek
0 komentar:
Posting Komentar