Kuba hanyalah negara kecil. Luasnya tidak melebihi pulau
Jawa, ibukotanya tak sebesar DKI jakarta. Sumber daya alam Kuba terbatas, tidak
sebanyak yang dimiliki Indonesia. Meski begitu, Kuba memiliki posisi penting
dalam percaturan politik internasional. Khususnya dunia kesehatan.
Kuba, memang bukan negara besar dan subur seperti Indonesia,
namun angka kesejahteraan disana jauh lebih tinggi, dilihat dari presentase
angka buta huruf rakyat Kuba yang mendekati 0%, Kuba mampu memaksimalkan
kemampuan terbatas mereka.
Semenjak Revolusi Kuba yang terjadi tahun 1959, Kuba menjadi
negara yang diperhitungkan. Duet Fidel Castro dan Che Guevara membawa Kuba ke
depan pintu menuju perubahan. Skema industri di Kuba diubah. Kuba lebih
mengedepankan industri berbasis nasional, yang memanfaatkan berbagai potensi
yang dimiliki negara yang tak luas itu.
Industri pengolahan tembakau, yang dijadikan cerutu, menjadi
salah satu industri prioritas yang ada di Kuba. Pemerintah Kuba memaksimalkan
potensi pertanian tembakau di sana dan kegemaran masyarakat akan cerutu dengan
menjadikan industri ini sebagai salah satu aset berharga negara.
Hasilnya, cerutu Kuba begitu dikenal dan diminati dunia.
Berdasar laporan keuangan salah satu merek cerutu ternama asal Kuba, Habanos
SA, total penjualan mereka mencapai US$447 juta (Rp5,1 triliun) pada tahun
2013. Penjualan cerutu mereka naik 8% dibanding tahun sebelumnya karena
kenaikan permintaan dari China.
Di Kuba, industri potensial seperti ini tidak dilarang,
malah dimaksimalkan sebagai salah satu sumber pemasukan untuk menyejahterakan
masyarakat. Pemerintah Kuba cukup mengandalkan ekspor cerutu sebagai salah satu
sumber devisa yang besar bagi mereka, mengingat keterbatasan sumber daya lain
yang mereka punya.
Tapi jangan salah, sekalipun memaksimalkan potensi industri
tembakau Kuba adalah salah satu negara dengan sistem kesehatan yang paling baik
di dunia. Mereka memiliki sekolah dokter gratis bagi pelajar dari seluruh
penjuru dunia bernama ELAM. Pun rasio dokter yang ada di Kuba seimbang.
Kira-kira satu dokter di sana hanya melayani 100 keluarga, atau diminta
melayani satu wilayah RT.
Selain itu, angka kematian bayi di Kuba hanya 6 per 1000
kelahiran, sedangkan di Indonesia mencapai 35 kematian per 1000 kelahiran. Lalu
angka kematian ibu melahirkan di Kuba mencapai 8 per 1000 kelahiran. Di
Indonesia? Mencapai 307 kematian per 1000 kelahiran.
Jadi, tidak ada hubungan negara yang industri tembakaunya
maju akan buruk pelayanan kualitas kesehatannya. Kuba telah membuktikan, mereka
sanggup melayani masyarakat dengan sistem kesehatan bermutu dengan mengandalkan
penghasilan dari industri tembakau.
Sedangkan Indonesia, yang industri tembakaunya begitu dicecar
oleh kementrian kesehatan dan regulasi-regulasi yang mematikan tetap saja tidak
bisa memberikan pelayanan kesehatan yang baik bagi warganya. Sudah tidak mampu
memberikan pelayanan kesehatan yang baik masih saja getol mematikan industri
yang potensial bagi negara.
Pertama dimuat di Komunitas Kretek
0 komentar:
Posting Komentar