Jangan sekali-kali melupakan sejarah, kata Bung Karno. Lalu
slogan menolak lupa berkumandang, meski tetap saja penyakit pikun sejarah masih
melanda anak bangsa. Agaknya ada satu hal yang luput dibahas kala teror datang
di bulan Januari. Semua fokus pada teror bom, tapi lupa ada teror yang lebih
mengerikan.
Puluhan tahun lalu, tepatnya pada 15 Januari 1974, sebuah
perlawanan lahir dari kebosanan terhadap teror ekonomi yang melanda Indonesia.
Selepas peristiwa 65 dan jatuhnya Soekarno, pondasi kapitalisme global tengah
dibangun pada rezim baru. Investasi-investasi asing masuk menguasai pasar
Indonesia. Bagi mahasiswa, pemerintah kala itu sudah menyimpang dan tidak
berhaluan kepada pembangunan yang mementingkan rakyat.
Rasa muak memuncak kala Perdana Menteri Jepang Tanaka Kakuei
datang ke Indonesia. Tanaka dianggap sebagai simbol kapitalisme global yang
merongrong Indonesia, karenanya kedatangan Tanaka harus disambut dengan
demonstrasi. Apalagi, investasi jepang yang semakin bertambah dari waktu ke
waktu di Jawa dianggap membunuh pengusaha-pengusaha kecil pribumi.
Singkat kata, demonstrasi besar-besaran terjadi. Kedatangan
Tanaka di bandara Halim Perdanakusuma dijaga ketat aparat, sementara di
pusat-pusat kota seperti Senen kerusuhan telah terjadi. Karena kerusuhan itu
pula, Soeharto selaku presiden pada rezim itu merasa ditampar pipinya di
hadapan Tanaka. Apalagi Tanaka harus diangkut menuju Istana menggunakan
helikopter karena kerusuhan yang ada.
Murka Soeharto tak bisa dibendung. Segenap perintah
diberikan, kerusuhan harus dibungkam. Kondisi Jakarta sendiri mencekam. Gedung
pertokoan dibakar. Mobil-mobil serta motor-motor dirusak, dibakar. Korban
jatuh, baik yang luka maupun tewas. Ratusan orang ditangkap, termasuk dua
pimpinan mahasiswa dari UI, Hariman Siregar dan Sjahrir.
Banyak perdebatan mengenai peristiwa ini, tapi karena saya
sudah kebanyakan cerita soal tragedi Malari ada baiknya bagi yang mau tahu
lebih lanjut bisa googling sendiri. Pun mengenai adanya perselisihan antar
jenderal dan preman bayaran yang diikutkan dalam kerusuhan itu. Lebih baik cari
sendiri.
Yang lebih penting terkait persitiwa ini adalah, spirit
perlawanan yang harusnya dijaga. Memasuki tahun yang baru ini, pemerintahan Jokowi
telah membuat beberapa kesepakatan kerja dan investasi yang dibiayai oleh pihak
asing. Bukan tidak baik, tapi sekali lagi, kalau terlalu mengakomodasi pihak
asing kapan mau memperhatikan pengusaha lokal yang hendak bersaing.
Belum lagi, kebiasaan buruk sistem pengupahan yang begitu
menguntungkan dan (sekali lagi) mengakomodasi, kalau tidak mau dibilang
memanjakan, para pengusaha yang kebanyakan bukan dari Indonesia. Ini bukan soal
menentang asing-aseng atau apalah, tapi potensi pengusaha akan semakin dikebiri
dengan kebijakan yang menguntungkan modal besar dari asing.
Sialnya lagi, budaya pikun dan lupa masih melanda anak
bangsa. Presiden dapat proyek kereta cepat, kalian senang-senang aja, “Yang
penting bisa bolak-balik Bandung-Jakarta dengan cepat!”. Atau ketika ketika kontrak karya Freeport
hendak diperpanjang, banyak diantara kita masa bodo.
Terlalu sedikit orang yang akan memikirkan nasib-nasib supir
Bus Primajasa yang akan kehilangan pendapatan karena dibuatnya kereta cepat.
Atau terkait Freeport, tidak banyak yang mengurusi hidup bangsa Papua yang
miskin padahal gunung emasnya dirampok asing.
Babi, memang. Penyakit lupa menjangkiti anak bangsa. Mereka
lupa kalau poster berbunyi Jas Merah di dinding kelas SD tergambar sosok
Soekarno, orang yang menolak penambangan emas di Papua karena besaran
keuntungan yang timpang diterima Indonesia. Mereka pun lupa, kalau bapak bangsa
seperti Soekarno dan Tan Malaka berjuang memerdekakan republik demi
kesejahteraan anak bangsa, bukan kesejahteraan perusahaan asing.
Atau malah, anak-anak bangsa sudah lupa siapa itu Soekarno,
apalagi Tan Malaka. Selama bisa sekolah sampai kuliah, lalu dapat kerja dan
bisa menikah, buat apa repot-repot mengingat sejarah. Tak perlu lagi mengingat
perlawanan yang dilakukan para pemuda terhadap para penjajah, yang penting
sudah merdeka. Toh yang penting itu masa depan, masa depan perut dan nasib
masing-masing. Kalau sudah begitu, apa mau dikata. Panjang umur kedunguan,
selamat mati perlawanan.
Perama kali dimuat di Mahasiswa Bicara
0 komentar:
Posting Komentar