Aditia Purnomo

Mencari Alasan

Leave a Comment

Saat mengikuti pendidikan di pers mahasiswa dulu, saya pernah dimarahi habis-habisan karena tidak datang pada sebuah agenda organisasi. Saat itu saya ada urusan keluarga yang tak bisa ditinggalkan, karena itu saya tak bisa datang.

Kebijakan organisasi kala itu agak galak terkait ketidakhadiran calon anggota pada kegiatan yang dilaksanakan organisasi. Masing-masing calon anggota diperbolehkan tidak hadir dalam tiga kesempatan, setelahnya silakan keluar dengan baik-baik.

Memang ada dispensasi untuk beberapa alasan, tapi ya syarat dispensasinya juga tidak sembarangan. Calon anggota kala itu boleh berhalangan hadir jika (1) ada keluarga yang sakit parah atau meninggal, (2) Saudara kandung menikah, dan (3) Kita sakit parah. Untuk alasan diluar itu tidak dapat ditolerir.

Saat itu, saya baru absen dua kali. Jadi ketidakhadiran kala itu adalah yang ketiga. Saya merasa aman. Namun, sial memang, saya tidak memberi informasi ketidakhadiran pada teman-teman juga senior. Padahal, ini adalah salah satu hal yang sangat ditekankan dalam pendidikan kami.

Waktu itu memang ponsel saya sedang rusak, jadi tidak bisa mengontak siapa-siapa. Dan saya pasrah saja. Karena kelalaian saya, saya dimarahi habis-habisan oleh senior.

Argumentasi mereka, yang sialnya tak bisa saya bantah, kalau ponsel saya rusak kenapa tidak meminjam milik orang lain. Atau kalau tidak hapal nomor teman bisa menghubungi melalui sosial media. Kalau tidak punya laptop ya ke warnet, masa uang 2 ribu perak saja tak punya.

Saat itu saya diam saja. Bukan apa-apa, perkataan mereka memang benar. Dan saya memang salah. Saya sadar kalaupun ponsel rusak, masih ada cara lain untuk berkomunikasi dengan rekan-rekan. Dan yang paling penting, saya sadar kalau ketiadaan alat cuma menjadi alasan kemalasan untuk melakukan apa yang sebenarnya bisa dilakukan.

Alasan memang hanya jadi alasan.
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar