Saat mengikuti pendidikan di pers mahasiswa dulu, saya
pernah dimarahi habis-habisan karena tidak datang pada sebuah agenda
organisasi. Saat itu saya ada urusan keluarga yang tak bisa ditinggalkan,
karena itu saya tak bisa datang.
Kebijakan organisasi kala itu agak galak terkait
ketidakhadiran calon anggota pada kegiatan yang dilaksanakan organisasi.
Masing-masing calon anggota diperbolehkan tidak hadir dalam tiga kesempatan,
setelahnya silakan keluar dengan baik-baik.
Memang ada dispensasi untuk beberapa alasan, tapi ya syarat
dispensasinya juga tidak sembarangan. Calon anggota kala itu boleh berhalangan
hadir jika (1) ada keluarga yang sakit parah atau meninggal, (2) Saudara
kandung menikah, dan (3) Kita sakit parah. Untuk alasan diluar itu tidak dapat
ditolerir.
Saat itu, saya baru absen dua kali. Jadi ketidakhadiran kala
itu adalah yang ketiga. Saya merasa aman. Namun, sial memang, saya tidak memberi informasi
ketidakhadiran pada teman-teman juga senior. Padahal, ini adalah salah satu hal
yang sangat ditekankan dalam pendidikan kami.
Waktu itu memang ponsel saya sedang rusak, jadi tidak bisa
mengontak siapa-siapa. Dan saya pasrah saja. Karena kelalaian saya, saya
dimarahi habis-habisan oleh senior.
Argumentasi mereka, yang sialnya tak bisa saya bantah, kalau
ponsel saya rusak kenapa tidak meminjam milik orang lain. Atau kalau tidak
hapal nomor teman bisa menghubungi melalui sosial media. Kalau tidak punya
laptop ya ke warnet, masa uang 2 ribu perak saja tak punya.
Saat itu saya diam saja. Bukan apa-apa, perkataan mereka
memang benar. Dan saya memang salah. Saya sadar kalaupun ponsel rusak, masih
ada cara lain untuk berkomunikasi dengan rekan-rekan. Dan yang paling penting,
saya sadar kalau ketiadaan alat cuma menjadi alasan kemalasan untuk melakukan
apa yang sebenarnya bisa dilakukan.
Alasan memang hanya jadi alasan.
0 komentar:
Posting Komentar