Dengan mengesampingkan ingar-bingar dan kehebohan novel
Lelaki Harimau (Man Tiger) yang masuk nominasi The Man Booker Prize, nyatanya Eka
Kurniawan mengawali karir kepenulisan dengan jalan yang tidak mudah.
Bermula dari tahun 2000-an, novel pertamanya Cantik itu Luka
mendapat penolakan dari semua penerbit yang ia tawari draft buku. Eka merasa
putus asa, novel yang telah ditulisnya malah susah diterbitkan.
Namun, di saat-saat tidak baik itulah, tawaran dari Yogya
datang. Ia diminta balik ke Kota Berhati Nyaman dan berkegiatan di komunitas
baru bernama Akademi Kebudayaan Yogyakarta (AKY). Eka jelas tak bisa menolak
tawaran tersebut. Di AKY, Eka bersama beberapa penulis lain seperti Puthut EA,
Azhari, dan lain-lain menjalankan program untuk penulis pemula.
Di komunitas inilah Eka kembali menempa kemampuannya sebagai
penulis. Sebagai penganggung jawab program diskusi di AKY, Eka mengurai masalah-masalah
apa saja yang dialami para penulis pemula. Dari situlah kemudian Eka mengundang
para pakar untuk memperluas pemahaman penulis muda AKY. Setelah enam bulan
beraktifitas, AKY memberi subsidi penerbitan novel pertama Eka tersebut.
Bertahun-tahun setelahnya, kesuksesan Cantik itu Luka
membawa Eka pada karir kepenulisan yang cemerlang. Beberapa bukunya diterbitkan
oleh penerbit mayor. Cantik itu Luka diterbitkan ulang, serta dua buku baru
Novel Lelaki Harimau dan kumpulan cerpen Corat-Coret di Toilet.
Pada masa-masa itulah, pertemuannya dengan Benedict Anderson
membawa karir kepenulisannya mendunia. Cerita ini terselip pada sesi
bincang-bincang saat peluncuran buku terbaru Eka Kurniawan yang berjudul O di
Gramedia, Mall Central Park Jakarta Barat. Bersama sekitar 150-an pengunjung,
Eka yang datang bersama istri dan anaknya merayakan terbitnya O dengan acara
potong tumpeng serta berbagi pengalaman selama menulis buku ini.
Hari itu saya masuk dalam kategori orang-orang yang
beruntung. Dalam rangka memperingati ulang tahun Gramedia yang ke 42, panitia
syukuran menyiapkan hadiah buku O untuk dibagi kepada 42 orang yang datang
pertama. Dan saya termasuk orang beruntung keempat.
Syukuran dibuka dengan agenda potong tumpeng, Eka maju
mengambil pisau dan memotong tumpeng. Ia tersenyum sejenak, memberikan potongan
tumpeng kepada anaknya, Kinan. Sehabis itu sesi bincang-bincang dimulai, dan
Eka mulai bercerita sebagai awalan.
Novel ini bermula dari sebuah kebuntuan menulis yang harus
dihadapi Eka pada medio 2010-an. Saat itu, ia sedang berupaya menyelesaikan
draf-draf tulisan yang tak tahu hendak ia bawa ke mana. Hingga kemudian, ia
menyaksikan pertunjukan sirkus topeng monyet di perempatan jalan kala mengantar
anaknya ke sekolah. Sekali lagi Eka menjadi orang yang beruntung.
“Saya menulis novel ini dari kumpulan cerita-cerita yang
belum tahu dibawa ke mana, stuck saja, bahkan sempat mau dibuang,” cerita Eka.
Mendapat inspirasi dari sirkus topeng monyet, Eka
melanjutkan naskah-naskahnya yang terbengkalai dengan satu titik temu yang
menarik. Sebuah ide muncul, ia merajutnya menjadi sebuah kisah fabel. “Tapi ini
fabel bukan untuk anak-anak. Ini fabel khusus dewasa,” tegasnya sembari tertawa.
Novel O sendiri mengisahkan perjalanan seekor monyet bernama
O yang belajar bagaimana cara hidup sebagai manusia. Monyet ini meyakini bahwa
dengan berlaku seperti manusia maka ia akan berubah menjadi manusia yang
sebenarnya, dan bisa menyusul kekasihnya yang telah menjadi seorang Kaisar
Dangdut.
Dalam O Eka mencoba membuat fabel yang agak berbeda dengan
kebiasaan umum. Kalau novel Animal Farm karya George Orwell menceritakan
bagaimana manusia memiliki aspek-aspek kebinatangan, maka Eka menuliskan O dengan
paradigma binatang yang memiliki aspek-aspek kemanusiaan. Bahkan dalam sirkus
topeng monyet kita disajikan pertunjukan monyet yang hendak meniru manusia. “Ya
sudah dibuat saja, kalau binatang mau menjadi manusia coba saja, memangnya
enak,” katanya.
Pada peluncuran kali ini, ceritanya tidak bisa dipisahkan
dari keberhasilan masuk nominasi The Man Booker Prize. Berulang kali pertanyaan
seputar keberhasilannya itu dilontarkan, dan Eka tetap menjawabnya dengan
santai.
Sebagai seseorang yang hidup tanpa media sosial, Eka
terlambat mendapatkan kabar tentang nominasi tersebut. Sebenarnya ia telah
diberi kabar oleh seorang teman melalui pesan singkat, namun tak langsung
dibaca. Barulah ketika membaca pesan tersebut, segera ia mencari koneksi WiFi
untuk membuka tautan yang dikirim temannya.
Ini juga cerita menarik. Perlu diketahui bahwa Eka telah
menutup semua akun media sosialnya sejak beberapa tahun lalu. Waktu itu, Eka
mencoba menahan godaan untuk berkomentar yang amat terasa kala menggunakan
media sosial. Karena itu, ia mencoba untuk ‘puasa’ menggunakan media sosial
hingga akhirnya keterusan dan tidak lagi menggunakannya. “Saya tidak anti
informasi, hanya menahan godaan untuk berkomentar,” celotehnya.
Untuk karir menulisnya yang mendunia, Eka merasa Ben
Anderson adalah orang yang sangat penting. Pada pertemuan pertamanya dengan Ben
pada 2008, Eka diminta menerbitkan novel-novelnya di luar Indonesia.
Setidaknya, dalam bahasa Inggris atau Prancis. Eka hanya mengiyakan tanpa
banyak berbuat apa-apa. “Ya saya tidak ngapa-ngapain karena nggak tahu apa-apa
soal penerbitan di luar,” jelasnya.
Tahun selanjutnya, Eka kembali bertemu dengan Ben Anderson.
Kembali Ben menanyakan kepada Eka tentang penerbitan novelnya di luar negeri.
“Bagaimana, udah ketemu penerbit belum?” tanya Ben
“Belum, Om. Hehehe….” ucap Eka sambil terseyum ketika
menceritakannya.
Tiap tahunnya ia terus menanyakan hal yang sama hingga
akhirnya datang orang dari penerbit Verso. Menurut Eka, orang dari Verso itu
datang atas rekomendasi Ben. Mereka mengatakan ingin menerjemahkan novelnya ke
dalam bahasa Inggris. Dan sekali lagi, Eka hanya mengiyakan.
“Bukan begitu, kami tidak memahami sastra Indonesia. Jadi
kamu yang cari penerjemah,” jelas orang dari Verso.
“Oh, gitu ya,” jawabnya disambut gelak tawa para penggemar.
Akhirnya, Eka dibantu editornya di Gramedia mencari beberapa
penerjemah untuk mengerjakan contoh terjemahan untuk nantinya diseleksi oleh
Ben Anderson. Kenapa diseleksi oleh Ben, karena Verso yang memintanya. Lalu
terpilihlah Labodalih Sembiring sebagai penerjemah novel Eka. Kemudian, Anda
bisa cari di Google bagaimana kelanjutan ceritanya.
Menjelang berakhirnya acara syukuran ini, muncul sebuah
pertanyaan menarik dari pengunjung. Setelah meraih kesuksesan di dunia menulis,
bagaimana sih rasanya menjadi Eka Kurniawan?
Pertanyaan ini disambut tawa dari Eka serta hadirin yang
lain. Lantas, dengan santainya Eka menjawab: “Sesungguhnya setelah 40 tahun
menjadi Eka Kurniawan, saya merasanya cukup membosankan juga.” Dan pecahlah
tawa hadirin menyambut jawaban itu.
Begitu acara selesai, sesi tanda tangan telah dipenuhi
antrean yang cukup panjang. Bergegas saya mengisi antrean agar tidak semakin di
belakang. Beberapa orang memilih menyantap tumpeng yang tersaji, tapi lebih
banyak yang memilih mengejar tanda tangan Eka.
Saya lihat ke depan, sesi tanda tangan dan foto telah
dimulai. Orang-orang secara bergantian meminta tanda tangan dan foto bersama.
Sembari menunggu antrean, saya berbincang dengan seorang pengunjung yang telah
membaca semua karya Eka. Menurutnya, meminta tanda tangan penulis adalah sebuah
hal penting untuk menyempurnakan buku. “Kurang lebih biar buku yang saya baca
ini paripurna,” jelasnya.
Giliran saya akhirnya tiba. Saya membawa dua buku untuk
ditandatangani, satu untuk sendiri dan satu lagi untuk seorang kawan. Sembari
meminta tanda tangan, saya meminta wejangan dari Eka. Biar bagaimana Eka adalah
salah satu penulis Indonesia yang paling hebat. Sambil tersenyum, Eka
membubuhkan tanda tangan dan sebuah kalimat. “Buat Adit, semoga cepat lulus,”
pesannya, yang ditambahi emot di bawah tulisan.
Saya tertawa, dia pun tertawa. Purna sudah kebahagiaan saya
hari itu.
0 komentar:
Posting Komentar