Aditia Purnomo

Belajar Sejarah ala Tere Liye

Leave a Comment


Dalam hidup yang singkat lagi fana ini, saya yakin setiap orang pernah alay pada masanya. Mulai dari gaya rambut, model pakaian, hingga buku bacaan pasti pernah dipengaruhi oleh zaman alay tersebut. Saya, misalnya, meski sudah membaca buku Catatan Seorang Demonstran dari Soe Hok Gie atau Bangsa yang Belum Selesai karya Max Lane, tetap saja saya membaca beberapa teenlit yang sudah saya lupa judulnya dan tetralogi (bukan punya Pram) Laskar Pelangi. Tapi itu adalah masa lalu. Masa remaja yang penuh pencarian akan jati diri (eaaaaa) dan ikut-ikutan teman.

Fase itu kini tengah dinikmati oleh para dede-dede gemesh yang menjadi sasaran pasar seorang Om Darwis a.k.a Tere Liye. Dijejali oleh buku-buku best seller yang lahir dari tangannya, dede-dede itu menjadi anak bangsa yang harus dilindungi olehnya dari ancaman-ancaman yang ada.

Seperti hari ini misalnya, dari halaman penggemar miliknya, seorang Tere Liye menuliskan status yang mengimbau agar para dede gemesh itu membaca sejarah bangsa ini dengan baik dan tidak terpesona oleh paham-paham dari luar. Status yang disukai oleh 3.300 pengguna fesbuk dan disebarkan (tidak lupa dengan mengucap aamiin) oleh ratusan diantaranya itu juga memberi sebuah pertanyaan yang teramat kritis pada para masyarakat dunia maya.

“Apakah ada orang komunis, pemikir sosialis, aktivis HAM, pendukung liberal, yang pernah bertarung hidup mati melawan serdadu Belanda, Inggris atau Jepang? Silahkan cari.”

Sungguh pertanyaan yang teramat sulit untuk dijawab, mengingat sejarah Indonesia adalah sejarahnya para mujahid yang berkumandang Allahuakbar demi kemerdekaan Indonesia. Sementara para hantu-hantu komunis itu melakukan apa? Berapa banyak dari mereka yang mati melawan penjajah? Sejarah ini tentu perlu diluruskan.

Jika membaca Manuskrip Sejarah 40 Tahun Partai Komunis Indonesia yang diterbitkan oleh Ultimus dan disunting oleh Bung Besar Bilven Sandalista, PKI hanyalah organisasi pertama yang menggunakan kata Indonesia sebagai nama organisasinya. Belum lagi para pendirinya hanyalah Semaun si Tukang Mogok da Tan Malaka yang bukunya menjadi pegangan Soekarno, tiada apa-apanya ketimbang Sarekat Islam yang diketuai Mbah Tjokroaminoto itu.

Eh, betewe mbah Tjokro itu khatam baca Das Kapitalnya si jenggot Marx lho, pernah nulis buku Islam dan Sosialisme pula. Piye iki.

Lalu Soekarno, dia yang kekiri-kirian itu kan akhirnya jatuh juga. Karena PKI pula. Sudah bagus Soekarno sang bapak bangsa masih dihargai oleh sejarah dengan dianggap sebagai proklamator. Nggak penting dia itu baca Das Kapital, belajar dari Musso si pimpinan PKI, mengkonsep Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis), serta mengedepankan kebijakan anti imprealisme yang amat kekiri-kirian. Yang penting dia pernah kerjasama sama fasisme Jepang, mana ada komunis kerja sama fasis kayak orang-orang antikomunis hari ini. Coba pikir.

Sementara pasangan gandanya, Mochammad Hatta, sekalipun belajar sosialisme tapi memusuhi PKI. Mau dia membuat konsepsi sosialisme Indonesia yang tetap berdasar pada ajaran Marx yang menuntut persamaan hak semua manusia, yang penting dia memusuhi PKI. Titik. Lagipula musuh dari musuh adalah kawan dalam perjuangan, ingat itu.

Karena itu, sekalipun agak kekiri-kirian, tapi duet maut Soekarno Hatta itu bukan orang kiri, apalagi komunis. Buktinya mereka malah dimasukan dalam buku seri tempo dengan tema bapak bangsa, bukan orang kiri Indonesia. Hehehe.

Selain itu, membicarakan kebangkitan nasional pun tidak bisa dilepaskan dari tangan-tangan para haji dan pedagang. Haji Misbach misalnya, Ia berjuang untuk masyarakat pribumi pada masa awal kebangkitan nasional bergelora. Malah teman seperjuangannya, Mas Marco Kartodikromo, mengatakan Misbach sebagai seorang yang ramah dan teguh kepada ajaran islam. Eh, Mas Marco ini kan agak kekiri-kirian, tapi nggak apa deh yang penting kuotabel buat pak Haji.

Coba bandingkan dengan tokoh komunis macam Tan Malaka, jelas tiada apa-apanya. Tan Malaka hanya seorang bocah Minang yang khatam Al Qur’an sejak kecil, sementara Haji Misbach, sudah Haji pejuang pula. Mana ada komunis yang naik haji? Coba cari. Mentok-mentok juga si Haji Merah, eh ini julukannya Misbach deng.

Terus karena si komunis Semaun itu kan Sarekat Islam jadi pecah, sekalipun dia ketua Sarekat Islam cabang Semarang, tapi tetep aja dia ketua PKI yang pertama. Sarekat Islam Merah, mana ada. Wong Sarekat Islam benderanya warna hijau, kok dibuat merah. Lagipula mana ada komunisme atau sosialisme yang a la kearifan lokal Indonesia, nggak ada. Jadi pemikiran Hatta soal sosialisme a la Indonesia itu cuma omong kosong sesaat khas anak muda yang sedang bergelora.

Toh dalam sejarah, Islam dan Kiri di Indonesia memang sulit disatukan. Nggak semudah apa yang dituliskan oleh Gus Dur dalam pengantar buku Kiri Islam terbitan Lkis itu. Lagipula lebih mudah mencari gesekan antara islam dan kiri. Bagaimana dulu kaum kiri seringkali berbenturan dengan beberapa pemuka agama yang menjadi orang kaya dan tuan tanah. Yang kekirian meminta hak rakyat atas tanah yang ada untuk bisa hidup sejahtera, yang punya tanah ya nggak mau ngasih penghidupannya. Kurang-kurang gini lah ya, kalau mau ditambahin silakan.

Coba cari kesamaannya, ya banyak juga. Hehehe. Bagaimana Hatta mengatakan bahwa Islam dan Sosialisme itu sama-sama mengajarkan nilai-nilai persamaan, persaudaraan, perikemanusiaan, dan keadilan sosial. Atau Tan Malaka yang menyerukan islamisme dan komunisme harus bersatu padu melawan imprealisme karena sama-sama menjadi yang ditindas olehnya. Tapi ya sekarang udah nga penting, toh banyak juga orang islam yang nindas sesamanya. Eh.

Untungnya acara Belok Kiri. Fest yang dianggap sebagai jelmaan hantu komunis itu sudah dilarang diadakan di Taman Ismail Marzuki. Kehadiran dede-dede haemi fakifaki tjabang Djakarta beserta faksi anti-anti lainnya berhasil memukul mundur panitia untuk pindah ke Kantor LBH Jakarta. Coba kalau dibiarin, bisa-bisa mahmud abas yang mau ke planetarium sama anaknya malah ikutan diskusi soal sejarah Indonesia. Kan bisa jadi cerdas mereka.

Ingat, diskusi-diskusi yang diadakan hantu kuminis macam Belok Kiri. Fest bukanlah upaya untuk meluruskan sejarah, melainkan membuatnya berbelok ke arah kiri. Karena bagi penulis cum sejarawan Darwis ini sejarah Indonesia sudah lurus, selurus jalan Indonesia dalam khayalan pemerintahan khilafah. Buat apa melihat wajah Indonesia yang terlalu lama diadu domba agar kekayaan alamya dikeruk kalau bisa mendapat keuntungan dari itu.

Lagipula dalam statusnya, om Darwis hanya meminta anak muda Indonesia untuk membaca sejarah bangsa ini dengan baik. Tentunya maksud kata ‘dengan baik’ itu adalah sejarah resmi versi pemerintah yang diwariskan oleh orde baru. Masa gitu aja kalian nggak paham. Nggak pernah belajar Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila ya?

Karena bagian terpenting dari proxi war soal kiri-komunis-sosialis-blablabla ini adalah bagaimana menjadikan anak muda Indonesia tidak mengikuti dongeng-dongeng perjuangan Indonesia yang dapat menggelorakan semangat mahasiswa macam saya untuk menentang penindasan berbentuk pengerukan kekayaan alam yang direstui rezim. Maaf, saya salah, itu bagian kedua terpenting. Karena buat penulis macam Tere Liye statusnya soal kuminis adalah strategi marketing untuk bakulan buku. Bukan begitu, dede-dede gemesh?
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar