Dalam hidup yang singkat lagi fana ini, saya yakin setiap
orang pernah alay pada masanya. Mulai dari gaya rambut, model pakaian, hingga
buku bacaan pasti pernah dipengaruhi oleh zaman alay tersebut. Saya, misalnya,
meski sudah membaca buku Catatan Seorang Demonstran dari Soe Hok Gie atau
Bangsa yang Belum Selesai karya Max Lane, tetap saja saya membaca beberapa
teenlit yang sudah saya lupa judulnya dan tetralogi (bukan punya Pram) Laskar
Pelangi. Tapi itu adalah masa lalu. Masa remaja yang penuh pencarian akan jati
diri (eaaaaa) dan ikut-ikutan teman.
Fase itu kini tengah dinikmati oleh para dede-dede gemesh
yang menjadi sasaran pasar seorang Om Darwis a.k.a Tere Liye. Dijejali oleh
buku-buku best seller yang lahir dari tangannya, dede-dede itu menjadi anak
bangsa yang harus dilindungi olehnya dari ancaman-ancaman yang ada.
Seperti hari ini misalnya, dari halaman penggemar miliknya,
seorang Tere Liye menuliskan status yang mengimbau agar para dede gemesh itu
membaca sejarah bangsa ini dengan baik dan tidak terpesona oleh paham-paham
dari luar. Status yang disukai oleh 3.300 pengguna fesbuk dan disebarkan (tidak
lupa dengan mengucap aamiin) oleh ratusan diantaranya itu juga memberi sebuah
pertanyaan yang teramat kritis pada para masyarakat dunia maya.
“Apakah ada orang komunis, pemikir sosialis, aktivis HAM,
pendukung liberal, yang pernah bertarung hidup mati melawan serdadu Belanda,
Inggris atau Jepang? Silahkan cari.”
Sungguh pertanyaan yang teramat sulit untuk dijawab, mengingat
sejarah Indonesia adalah sejarahnya para mujahid yang berkumandang Allahuakbar
demi kemerdekaan Indonesia. Sementara para hantu-hantu komunis itu melakukan
apa? Berapa banyak dari mereka yang mati melawan penjajah? Sejarah ini tentu
perlu diluruskan.
Jika membaca Manuskrip Sejarah 40 Tahun Partai Komunis
Indonesia yang diterbitkan oleh Ultimus dan disunting oleh Bung Besar Bilven
Sandalista, PKI hanyalah organisasi pertama yang menggunakan kata Indonesia
sebagai nama organisasinya. Belum lagi para pendirinya hanyalah Semaun si
Tukang Mogok da Tan Malaka yang bukunya menjadi pegangan Soekarno, tiada
apa-apanya ketimbang Sarekat Islam yang diketuai Mbah Tjokroaminoto itu.
Eh, betewe mbah Tjokro itu khatam baca Das Kapitalnya si
jenggot Marx lho, pernah nulis buku Islam dan Sosialisme pula. Piye iki.
Lalu Soekarno, dia yang kekiri-kirian itu kan akhirnya jatuh
juga. Karena PKI pula. Sudah bagus Soekarno sang bapak bangsa masih dihargai
oleh sejarah dengan dianggap sebagai proklamator. Nggak penting dia itu baca
Das Kapital, belajar dari Musso si pimpinan PKI, mengkonsep Nasakom
(Nasionalis, Agama, Komunis), serta mengedepankan kebijakan anti imprealisme
yang amat kekiri-kirian. Yang penting dia pernah kerjasama sama fasisme Jepang,
mana ada komunis kerja sama fasis kayak orang-orang antikomunis hari ini. Coba
pikir.
Sementara pasangan gandanya, Mochammad Hatta, sekalipun
belajar sosialisme tapi memusuhi PKI. Mau dia membuat konsepsi sosialisme
Indonesia yang tetap berdasar pada ajaran Marx yang menuntut persamaan hak
semua manusia, yang penting dia memusuhi PKI. Titik. Lagipula musuh dari musuh
adalah kawan dalam perjuangan, ingat itu.
Karena itu, sekalipun agak kekiri-kirian, tapi duet maut
Soekarno Hatta itu bukan orang kiri, apalagi komunis. Buktinya mereka malah
dimasukan dalam buku seri tempo dengan tema bapak bangsa, bukan orang kiri
Indonesia. Hehehe.
Selain itu, membicarakan kebangkitan nasional pun tidak bisa
dilepaskan dari tangan-tangan para haji dan pedagang. Haji Misbach misalnya, Ia
berjuang untuk masyarakat pribumi pada masa awal kebangkitan nasional
bergelora. Malah teman seperjuangannya, Mas Marco Kartodikromo, mengatakan
Misbach sebagai seorang yang ramah dan teguh kepada ajaran islam. Eh, Mas Marco
ini kan agak kekiri-kirian, tapi nggak apa deh yang penting kuotabel buat pak
Haji.
Coba bandingkan dengan tokoh komunis macam Tan Malaka, jelas
tiada apa-apanya. Tan Malaka hanya seorang bocah Minang yang khatam Al Qur’an
sejak kecil, sementara Haji Misbach, sudah Haji pejuang pula. Mana ada komunis
yang naik haji? Coba cari. Mentok-mentok juga si Haji Merah, eh ini julukannya
Misbach deng.
Terus karena si komunis Semaun itu kan Sarekat Islam jadi
pecah, sekalipun dia ketua Sarekat Islam cabang Semarang, tapi tetep aja dia
ketua PKI yang pertama. Sarekat Islam Merah, mana ada. Wong Sarekat Islam
benderanya warna hijau, kok dibuat merah. Lagipula mana ada komunisme atau
sosialisme yang a la kearifan lokal Indonesia, nggak ada. Jadi pemikiran Hatta
soal sosialisme a la Indonesia itu cuma omong kosong sesaat khas anak muda yang
sedang bergelora.
Toh dalam sejarah, Islam dan Kiri di Indonesia memang sulit
disatukan. Nggak semudah apa yang dituliskan oleh Gus Dur dalam pengantar buku
Kiri Islam terbitan Lkis itu. Lagipula lebih mudah mencari gesekan antara islam
dan kiri. Bagaimana dulu kaum kiri seringkali berbenturan dengan beberapa
pemuka agama yang menjadi orang kaya dan tuan tanah. Yang kekirian meminta hak
rakyat atas tanah yang ada untuk bisa hidup sejahtera, yang punya tanah ya nggak
mau ngasih penghidupannya. Kurang-kurang gini lah ya, kalau mau ditambahin
silakan.
Coba cari kesamaannya, ya banyak juga. Hehehe. Bagaimana
Hatta mengatakan bahwa Islam dan Sosialisme itu sama-sama mengajarkan
nilai-nilai persamaan, persaudaraan, perikemanusiaan, dan keadilan sosial. Atau
Tan Malaka yang menyerukan islamisme dan komunisme harus bersatu padu melawan
imprealisme karena sama-sama menjadi yang ditindas olehnya. Tapi ya sekarang
udah nga penting, toh banyak juga orang islam yang nindas sesamanya. Eh.
Untungnya acara Belok Kiri. Fest yang dianggap sebagai
jelmaan hantu komunis itu sudah dilarang diadakan di Taman Ismail Marzuki. Kehadiran
dede-dede haemi fakifaki tjabang Djakarta beserta faksi anti-anti lainnya
berhasil memukul mundur panitia untuk pindah ke Kantor LBH Jakarta. Coba kalau
dibiarin, bisa-bisa mahmud abas yang mau ke planetarium sama anaknya malah
ikutan diskusi soal sejarah Indonesia. Kan bisa jadi cerdas mereka.
Ingat, diskusi-diskusi yang diadakan hantu kuminis macam Belok
Kiri. Fest bukanlah upaya untuk meluruskan sejarah, melainkan membuatnya
berbelok ke arah kiri. Karena bagi penulis cum sejarawan Darwis ini sejarah
Indonesia sudah lurus, selurus jalan Indonesia dalam khayalan pemerintahan
khilafah. Buat apa melihat wajah Indonesia yang terlalu lama diadu domba agar
kekayaan alamya dikeruk kalau bisa mendapat keuntungan dari itu.
Lagipula dalam statusnya, om Darwis hanya meminta anak muda
Indonesia untuk membaca sejarah bangsa ini dengan baik. Tentunya maksud kata
‘dengan baik’ itu adalah sejarah resmi versi pemerintah yang diwariskan oleh
orde baru. Masa gitu aja kalian nggak paham. Nggak pernah belajar Pedoman Penghayatan
dan Pengamalan Pancasila ya?
0 komentar:
Posting Komentar