Jumat malam, 26 Februari 2016, teman-teman panitia Belok
Kiri. Fest mendapatkan kabar tidak baik bagi penyelenggaran acara ini. Pihak
UPT Taman Ismail Marzuki mengeluarkan surat resmi berisi penolakan penyelenggaraan
acara Belok Kiri. Fest. Alasannya, sederhana, izin Polisi yang diberikan
panitia dianggap tidak kapabel karena hanya mencantumkan persetujuan polsek,
bukan yang lebih tinggi. Bahkan saat itu panitia dipaksa untuk membongkar display pameran yang sudah terpasang.
Jika tidak, mereka akan membongkarnya dengan paksa.
Drama oper-operan terkait izin ini dimulai ketika baliho
acara Belok Kiri. Fest yang sudah terpasang di area promo Taman Ismail Marzuki
dicopot oleh pengelola. Alasannya ya tadi, izin Polsek setempat dianggap tidak
cukup untuk acara ini. Setelah melewati proses berbelit dan mondar-mandir,
pihak Polres Jakarta Pusat hingga Polda Metro Jaya tidak dapat memberikan izin
acara dengan berbagai alasan. Acara pun tidak dapat digelar di Galeri Cipta II
Taman Ismail Marzuki.
Tidak cukup sampai di sana, rencana Konfrensi pers dari
Panitia yang sedianya diselenggarakan di lokasi serupa pun ditolak pengelola
dan polisi. Alasan dapat mengganggu keamanan dan kenyamanan digunakan lagi.
Apalagi saat itu terdapat beberapa kelompok massa yang melakukan demonstrasi
dan tampak diakomodasi dengan baik oleh kepolisian. Massa dibiarkan masuk ke
Galeri Cipta II untuk mengecek pemberhentian acara, sementara konferensi pers
dari pantia dilarang. Akhirnya konpers digelar seadanya.
Dalam konpers, panitia menyayangkan perlakuan pengelola TIM
dan kepolisian yang melarang berlangsungnya Belok Kiri. Fest ini dan malah
mengakomodasi pihak-pihak yang mengancam kebebasan berpendapat dengan memaksa
acara ini dibatalkan.
Pihak komite, dalam siaran persnya, menggarisbawahi tiga hal
terkait pembatalan Belok Kiri. Fest itu. Pertama, mekanisme penggunaan Galeri
Cipta II di TIM tidak transparan dan tidak tersosialisasi dengan baik.
Mekanisme perizinan yang makin dipersulit hingga berujung pelarangan itu,
justru menunjukkan pengebirian hak publik untuk berkumpul dan berekspresi.
Kedua, aparat terindikasi tidak punya pengetahuan yang merata soal mekanisme
peminjaman dan seakan malah mempermainkan penyelenggara kala berupaya memperoleh
izin. Ketiga, adanya pihak-pihak tertentu yang menentang dan mengancam
dihelatnya kegiatan ini dengan tuduhan-tuduhan yang jauh dari kebenaran.
Akhirnya lokasi acara dipindah ke Kantor Lembaga Bantuan
Hukum Jakarta. Karena, biar bagaimanapun acara ini harus tetap terus berlanjut.
Mengusung semangat untuk mengembalikan ingatan sejarah bangsa sebagai sebuah
arena pembelajaran bagi generasi yang tumbuh, panitia merasa perlu untuk tetap
menyelenggarakan festival yang diisi oleh pameran dan diskusi-diskusi ilmiah
ini. Bagaimana pun narasi sejarah penguasa dan dongeng-dongeng yang dicipta
oleh Orde Baru harus ditelaah kembali dengan kritis.
Gerakan Kiri yang selama ini ditakuti dan dianggap tabu
sebagai akibat propaganda Orde Baru perlu ditampilkan secara utuh agar tidak
lagi menambah masyarakat yang ahistori. Generasi baru perlu mengenal Tan
Malaka, Semaun, Hadji Misbach, atau bahkan Soekarno dan Hatta sebagai orang
Kiri. Bahwa Gerakan Kiri adalah bagian dari gerakan yang mewujudkan cita-cita
Indonesia merdeka, bahwa kiri adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
Indonesia.
Untuk memberantas masyarakat tuna sejarah itulah panitia
bekerja keras selama setahun lebih untuk mewujudkan acara Belok Kiri, fest ini.
Demi menjembatani jurang antara akademisi sejarah dan komunitas luas, diperlukan
sebuah acara yang bisa menghadirkan kedua belah pihak. Terutama untuk merekonstruksi
pemahaman historis atas gagasan dan gerakan Kiri yang selama lebih dari tiga
dekade dimanipulasi dan dimatikan rezim otoriter Orde Baru. Dapat dikatakan, Belok
Kiri. Fest dan buku Sejarah Gerakan Kiri Indonesia untuk Pemula merupakan
sebentuk edukasi sejarah bagi masyarakat luas.
Mantap Bro, Ijin pakai Fotonya ya
BalasHapus