Jadi Orde Baru itu pembohong ya?” ujar Dewi seusai diskusi
Menyoal Orde Baru 1965-1998 di Belok Kiri. Fest akhir pekan lalu (5/3).
Dewi Nuraini adalah mahasiswa semester delapan di UIN
Jakarta. Ia sama dengan kebanyakan mahasiswa pada umumnya, memilih tak aktif
berorganisasi dan tidak begitu tertarik pada kegiatan politik. Kedatangannya di
kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, tempat diselenggarakannya Belok Kiri.
Fest karena ajakan temannya yang mahasiswa Universitas Diponegoro Semarang.
Seminggu sebelum acara Belok Kiri. Fest (BKF) digelar, Dewi
mengirim pesan setelah melihat kiriman tautan agenda BKF di dinding facebook
saya. Ia menanyakan beberapa hal terkait acara, jadwal, dan bagaimana cara
untuk mengikuti BKF. Saya jawab singkat saja dengan ajakan ke Taman Ismail
Marzuki (TIM) bersama saat acara berlangsung. Dan dia sepakat.
Sayang, sehari sebelum BKF berlangsung panitia diminta untuk
membongkar instalasi pameran yang sedianya akan berlangsung di Galeri Cipta II,
TIM. Pengelola pun mengeluarkan surat pernyataan penolakan terhadap BKF karena
izin dari Kepolisian Daerah Metro Jaya tak keluar.
Masih kurang gaduh, aksi penolakan terhadap BKF juga
disampaikan oleh beberapa organisasi mahasiswa dan ormas lainnya. Pada hari di
mana Festival harusnya berlangsung, panitia dipaksa membubarkan acara oleh
pengelola dan kepolisian dengan dalih keamanan dan dapat menganggu ketertiban.
Acara batal terlaksana di TIM, tapi tetap berlangsung dengan memindahkannya ke
kantor LBH Jakarta di Jl. Diponegoro.
BKF dibuka pada Sabtu malam, 27 Februari 2016, di lantai
satu gedung LBH Jakarta. Persiapan yang serba mendadak tidak mengurangi
antusiasme para pengunjung yang telah hadir bahkan sejak siang sebelumnya di
TIM. Awalnya, BKF akan dibuka dengan panggung dan penampilan yang agak ‘wah’.
Namun kondisi memaksa acara hanya bermodal semangat kalau BKF harus tetap
berjalan.
Di Kantor LBH, terpampang jelas instalasi pameran poster
dari isi buku Sejarah Gerakan Kiri Indonesia untuk Pemula. Semua isi dari buku
itu—yang mulanya akan dijadikan poster pameran—memang tak semuanya ditempel
lantaran tempat yang tak memadai.
Sayup-sayup terdengar ajakan berdiri kepada semua pengunjung
untuk menyanyikan Lagu Indonesia Raya. Saya yang tengah mengobrol dengan
beberapa teman di luar ruang tempat pembukaan berlangsung, tanpa pamit bergegas
masuk ke tempat pembukaan. Hampir semua pengunjung memegang selembar kertas,
salah satu halaman dari buku SGKI, yang berisi lirik Indonesia Raya. Lagu
dimulai, semua orang hikmat menyanyikan. Sampai kemudian, lagu dilanjut ke
bagian kedua lirik asli dari Wage. Ternyata menyanyikan yang tiga stanza, pikir
saya.
Masuk bagian terakhir, Yayak Yatmaka, tim penyusun buku SGKI
yang memandu pengunjung bernyanyi, menaikkan tempo dan para pengiring musik
memainkan bagian ini dengan lebih ceria. Ekspresi pengunjung, khususnya yang
berada di barisan depan (termasuk saya) meledak. Semua bernyanyi dengan
lantang, bergembira, dan khidmat dengan tangan kiri mengepal sambil meninju
udara. Begitu berulang hingga lagu selesai.
Yayak Yatmaka, dalam pengantar sebelum nyanyian, mengajak
para pengunjung untuk menyanyikan Indonesia Raya dengan lebih ceria. “Kita,
dengan gembira menyanyikan lagu Indonesia Raya. Tidak dengan cara-cara Orba,
yang berdiri tegak dan bergaya seperti tentara,” ujarnya.
* * *
Pekan selanjutnya Belok Kiri. Fest kembali berlangsung di
LBH Jakarta. Efi Sri Handayani, salah satu panitia acara terlihat duduk di
depan gedung sambil membaca sebuah buku. Waktu itu, kira-kira lewat pukul 10
pagi di hari Minggu, langit agak mendung. Kantor LBH masih terlihat sepi. Efi
adalah salah satu anak muda yang menjadi panitia di BKF. Ia mewakili generasi
di usianya yang mencoba memunculkan wacana tentang ‘kiri’ yang selama ini
dianggap tabu oleh kebanyakan masyarakat.
Menurut Efi, dalam sambutannya di pembukaan BKF, sejarah
yang selama ini ia dan kebanyakan anak muda tahu, ternyata amat berbeda dengan
kenyataan yang ada. Sejarah bangku sekolah, dalam bahasanya, tidak menceritakan
tragedi ‘65 yang memakan banyak korban jiwa dan orang-orang yang dirampas
haknya.
“Dari situ saya merasa sebagai generasi muda, merasa perlu
berhak untuk mendapatkan pengetahuan sejarah yang lebih lengkap. Bukan
persoalan benar atau salah. Tetapi sejarah yang jujur dan nyata,” jelasnya.
Katanya, anak muda perlu mengetahui kebenaran ini. Tapi
bagaimana caranya, mengingat banyak buku alternatif tentang sejarah yang ada,
namun tetap tidak banyak dibaca oleh anak muda. Karena itulah, ia dengan
semangat membantu teman-teman panitia menginisiasi sebuah acara yang dikemas
dalam bentuk populer untuk anak muda. Dan jadilah Belok Kiri. Fest ini.
“Karena kalau pakai gaya yang konservatif, siapa anak muda
yg tertarik. Apalagi ini kan menyasar anak-anak muda yang tidak tahu apa-apa.
Kalau diskusi sejarahnya kaku, malah susah dicerna. Toh banyak diskusinya yang
memang untuk pemula,” tegas Efi.
Mendobrak stigma negatif yang selama ini melekat pada kiri
memang tidak mudah. Apalagi jika menggunakan pendekatan yang tidak populer.
Untuk itulah, agenda yang direncanakan di BKF ini lebih banyak menghadirkan
diskusi-diskusi ‘untuk pemula’ agar anak muda yang hadir di acara ini dapat
memahami pesan yang ingin disampaikan.
Selain itu, BKF juga mengagendakan pemutaran film-film
dokumenter sebagai salah satu upaya menyampaikan wacana lewat bentuk yang lebih
populer. Ada juga pameran yang menampilkan setiap halaman buku Sejarah Gerakan
Kiri Indonesia untuk pemula di luar ruang diskusi agar para pengunjung,
terutama anak muda, bisa melihat gambaran gerakan kiri yang pernah membuat
sejarah di Indonesia.
* * *
Sambil melihat lapak buku di lobi ruangan yang menjadi tempat
berlangsungnya acara (tentu juga membeli beberapa) diskusi Menyoal Orde Baru
1965-1998 akan segera dimulai. Segera, setelah membayar, saya masuk dan
mendengarkan pemaparan dari para narasumber. Menurut poster yang tersebar
viral, diskusi ini harusnya dihadiri oleh Bonnie Triyana dan Asvi Warman Adam.
Sayang, karena kondisi kesehatan mereka tidak bisa hadir. Beruntung, narasumber
pengganti tidak kalah kualitasnya.
Saya terpukau melihat sebuah diskusi ilmiah bisa
mendatangkan lebih dari 150 pengunjung dengan kondisi ruang yang tidak seberapa
luas. Ini adalah pengalaman baru, mengingat diskusi ini digelar pada saat
orang-orang beristirahat atau jalan-jalan di akhir pekan. Dan rasanya saya
patut bersyukur. Karena jika tak ada acara ini, bisa jadi saya masih tidur pada
jam-jam di hari-hari akhir pekan seperti ini.
Antusiasme pengunjung tidak sekadar duduk hadir mendengarkan
lalu pulang begitu saja. Diskusi ciamik menyoal orba ini mendapat tanggapan
aktif dari pesertanya. Usman Hamid dan Yeri Wirawan sebagai narasumber dengan
apik menjabarkan bagaimana orde baru membangun kekuasaannya dan mempertahankan
kekuasaan melalui berbagai strategi. Lalu, aduh saya lupa, ini rubrik Gaya di
minumkopi.com bukan Indoprogress.
Saya semakin bergairah terhadap acara ini setelah melihat
sekelompok pelajar SMA hadir dan serius menanggapi diskusi dengan
pertanyaan-pertanyaan kritis. Saya merasa malu pada diri sendiri melihat progresifitas
dan militansi anak seumur mereka.
Usai diskusi, di luar ruangan saya bertemu Dewi, mahasiswa
semester delapan itu. Ia berbisik pelan ke saya, “Bang, emang ‘kiri’ itu apa
sih?” Saya melongo. Gelora semangat yang baru saja terpupuk dalam diskusi itu
hilang seketika.
Pertama tayang di minum kopi
0 komentar:
Posting Komentar