Aditia Purnomo

Mengamankan Kekuasaan Orde Baru

Leave a Comment


Pada tanggal 1 Oktober 1965, beberapa jam setelah operasi G30S tidak berjalan sesuai rencana, belum ada sentimen negatif dan amarah yang dilampiaskan pada massa Partai Komunis Indonesia serta para simpatisan lainnya. Operasi militer yang digawangi oleh Letkol Untung ini berhasil dipadamkan oleh Soeharto berbekal nasi bekal pasukan G30S yang habis dan iming-iming makan gratis.

Kejadian itulah yang dijadikan dalih daripada soeharto terhadap tragedi kemanusiaan pada titik nadir kekuasaan Soekarno. Titik balik kekuasaan Soekarno dimulai setelah diangkatnya jasad para jendral dan perwira menengah dari lubang buaya pada tanggal 4 Oktober 1965.

Setelahnya, dimulailah drama pembantaian umat manusia bercap komunis (juga simpatisannya) dan propaganda dongeng orde baru.

Menurut Usman Hamid, mantan kordinator KontraS, kekuasaan orde baru dibangun melalui institusi birokrasi, ekonomi, dan militer.

Melalui berbagai lembaga teror seperti Kopkamtib, orde baru membungkam semua perlawanan dan kritik terhadap penguasa, serta mematikan keberanian anak bangsa.

Lalu dengan surplus pendapatan dari ekspor minyak, kekuasaan orde baru membuai masyarakat dengan delusi kehidupan sejahtera yang mengiringi dongeng kejayaan orba.

Selain dongeng kejayaan, ada satu dongeng menakutkan yang berhasil dibuat orba dan menancapkan pengaruhnya terhadap masyarakat, yakni dongeng bahaya laten komunis dan kekejamannya.

Menurut Dolorosa Sinaga, narasi buruk terhadap perempuan dibangun berdasar cerita bohong prilaku binal dan ganas anggota gerwani yang dikisahkan mengiris dan memotong kemaluan para jendral dilubang buaya. Karenanya, saat orba berkuasa, gerakan perempuan yang ada di Indonesia dibuat lemah dengan membatasi gerakan perempuan sebatas pada kegiatan ibu rumah tangga, arisan, dan menjadi ibu-ibu pkk.

Kealpaan sejarah inilah yang menjadi sumber kejayaan orde baru sedari berkuasa hingga diruntuhkan. Ketidaksukaan anak bangsa terhadap pelajaran sejarah dianggap sebagai kemenangan besar orde baru terhadap gerakan kiri yang masih ada dan mencoba menawarkan narasi sejarah yang berbeda.

Yeri Wirawan, pengajar Universitas Sanata Dharma, mengatakan orde baru telah berhasil membangun kekuasaannya dari kealpaan sejarah ini. Karena, dengan ketidakmauan anak muda membaca sejarah, dongeng-dongeng yang diproduksi orde baru tidak akan terbongkar. Apalagi dengan sistem pendidikan yang dirancang sedemikian rupa agar anak muda tidak lagi kritis dan berani melawan ketidakbenaran pemerintah.

"Ketidakberanian melawan adalah hal yang paling mengerikan," tegas Yeri.

Karena kealpaan sejarah inilah, kemudian upaya meluruskan fakta dan mengusut kejahatan kemanusiaan amat sulit terwujud. Karena, selama ini negara masih tidak mau mengakui kalau pernah terjadi pembantaian massal pada masa itu. Padahal, pengakuan pemerintah akan dosa sejarah yang pernah terjadi adalah kunci untuk negara ini melangkah maju ke depan.

Ada beberapa contoh nyata betapa negara yang mau mengakui kejahatan kemanusiaan dan dosa sejarah yang pernah terjadi justru bisa melangkah ke masa depan yang lebih baik. Jerman, misalnya, dengan berani mengakui kejahatan kemanusiaan yang pernah dilakukannya pada orang-orang yahudi dan membuatkan monumen batu (stumble stone) di beberapa titik yang menunjukan pernah terjadi penghilangan orang yahudi di sana.

Atau Chili, negara yang berani mengadili para penjahat kemanusiaan dan memberikan hak para korban yang dirampas penguasa sebelumnya. Itu adalah beberapa contoh negara yang berani mengakui dosa sejarahnya.

Lantas, kenapa Indonesia tidak berani melakukan itu? Tentu ada ketakutan dari mereka yang pernah terlibat dalam pusaran tragedi jika kenyataan sejarah dibongkar. Bisa jadi mereka takut mempertanggungjawabkan perbuatan mereka di depan publik, apalagi di hadapan hukum. Selain itu juga ada ketakutan kalau mereka akan kehilangan mainan yang selama ink mereka kuasai.

Ketakutan untuk mengakui dosa sejarah itu kemudian membuat resistensi dan kekerasan terhadap upaya pengungkapan fakta sejarah terjadi di banyak tempat. Yang paling mudah ya pembubaran acara Belok Kiri. Fest yang sedianya akan dilaksanakan di Taman Ismail Marzuki akhir pekan lalu. Beruntung acara masih dapat berlangsung di kantor LBH Jakarta.

Padahal, pengungkapan dosa sejarah adalah salah satu upaya untuk menghentikan kekerasan yang biasa dilakukan negara. Dan seperti hakikatnya, mempelajari sejarah dilakukan agar kesalahan masa lalu tidak terulang kembali.

Nah, kurang lebih itu yang saya pahami dari diskusi Menyoal Orde Baru 1965-1998 kemarin. Forum-forum ilmiah seperti inilah yang dibutuhkan anak banhsa agar tidak lagi asal jeplak ketika membincang sejarah Indonesia. Dengan massa yang memenuhi ruangan, ini adalah salah satu diskusi paling menarik yang pernah saya ikuti.
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar