Masuknya nama Agus Harimurti Yudhoyono dalam percaturan
politik DKI membuat banyak orang terkejut. Punya karir militer yang lumayan,
Agus dianggap membuang masa depannya yang bisa cemerlang itu untuk bertarung di
Pilkada Jakarta. Tidak sedikit orang menyayangkan Susilo Bambang Yudhoyono yang
memaksa anaknya untuk tampil di gelaran politik paling panas tahun depan. Namun
tidak sedikit juga yang menganggap ini strategi jitu dari SBY untuk menaikkan
nama Agus dalam pentas ini.
Memang, hampir semua pihak menganggap pencalonan Agus hanya
dijadikan batu pijakan untuk kebutuhan politiknya suatu saat nanti. Ada yang
menganggap pada Pilkada DKI Jakarta ini hanyalah pemanasan bagi Agus untuk maju
di Pilkada Jawa Timur nantinya. Dan hampir semua pihak itu memprediksi kekalahan
Agus pada pertempuran di Jakarta. Hampir mustahil baginya untuk menang.
Namun patut diingat, politik itu dinamis. Sangat dinamis.
Mungkin tidak ada yang menyangka kalau Joko Widodo bakal memenangkan pilkada
Jakarta pada 2012 lalu. Siapa sangka kalau Jokowi mampu menggeser sang
petahana, Fauzi Bowo yang didukung mayoritas partai politik pada putaran kedua
pilkada. Kemenangan besar untuk calon yang tak diduga bakal menang.
Termutakhir, sulit membayangkan keberadaan Jokowi di Istana
Negara karena mengalahkan Prabowo pada 2014 lalu. Walau tipis, tapi menang
tetaplah menang. Agak sulit memang membayangkan dirinya bisa mengalahkan
Prabowo, yang didukung koalisi gemuk penguasa parlemen. Walau awalnya diragukan
bakal maju, Jokowi akhirnya berhasil memenangkan hati rakyat Indonesia.
Hal seperti ini bukan tidak mungkin terjadi pada Agus. Walau
berat, siapa tahu Agus tiba-tiba menang. Bisa saja kemuakan sebagian warga
Jakarta pada tingkah Ahok yang pongah dan ketidaksukaan sebagian lainnya pada
Anies Baswedan yang dianggap kutu loncat membuat mereka menjatuhkan pilihan
pada Agus. Ingat, politik itu dinamis. Siapa tahu itu bisa saja terjadi.
Dan jangan pernah lupakan keberadaan SBY di belakang Agus.
Walau nama besarnya kian pudar, tapi jangan pernah remehkan popularitas SBY.
Persoalan popularitas dan elektabilitas dalam politik Indonesia menjadi
penting, salah satunya, karena peran SBY. Betapa pentingnya mencitrakan diri
demi adalah trademark SBY. Untuk urusan ini, pastilah beliau membantu anaknya
sebaik mungkin. Bisa jadi keberadaan si jagonya pencitraan ini bakal
memenangkan Agus di Jakarta.
Persoalannya, pada pilkada kali ini Agus dianggap hanya
melakukan pemanasan. Menjadikannya sebagai batu loncatan untuk popularitas yang
lebih baik. Belum terbayang, dalam benak saya, apakah Agus dan timnya
benar-benar memikirkan program kerja yang tepat untuk jakarta. Apakah Agus
benar-benar siap menjadi Gubernur Jakarta seandainya menang nanti?
Sialnya, Agus nampak tak pernah benar-benar siap untuk itu.
Sebagai calon dadakan, Ia terlihat amat tidak siap menghadapi ini. Bahkan untuk
sekadar pertanyaan wartawan mengenai program saja Agus tidak sanggup
menjawabnya. Agaknya Agus benar-benar belum memiliki program andalan untuk
Jakarta.
Walau ditemani seorang birokrat DKI, Agus tidak memiliki
pengalaman dalam urusan birokrasi. Sekalipun nantinya tim Agus bisa membuat
satu-dua program baik untuk Jakarta, bukan tidak mungkin program itu bakal tak
terlaksana karena birokrasi yang berbelit. Untuk urusan ini, Ahok agak unggul
karena efisiensi adalah andalannya. Walau harus melanggar hukum yang ada.
Selain itu, pengalaman politik Agus masih sangat minim. Ia
belum pernah menghadapi tekanan politik yang berhasil membuat rambut bapaknya
memutih dan katung matanya menghitam. Bagaimana cara menghadapi tekanan media
dan masyarakat karena gagal menjalankan program. Atau tekanan selalu menjadi
kambing hitam atas suatu permasalahan di Jakarta. Agus belum benar-benar
teruji.
Kapabilitasnya pun patut diragukan. Pengalaman militernya
saya rasa tidak bakal membantu banyak dalam urusan memerintah. Apalagi
pengalaman kepemimpinannya di militer tidak banyak. Yang boleh agak dibanggakan
paling ketika menjadi Komandan Yonif 203/Arya Kemuning Tangerang. Selebihnya
saya rasa tidak ada yang bisa dibanggakan.
Ada baiknya Agus memang kalah pada pilkada kali ini. Selain
karena sulit menang, Agus memang tidak pernah benar-benar siap menjadi Gubernur
Jakarta. Kapabilitasnya meragukan, pengalaman tidak ada. Baiknya Agus
menjadikan kekalahan di pilkada ini sebagai sebuah pelajaran, bahwa mengikuti
keinginan orang tua tidak melulu baik untuk diri sendiri.
Pertama kali terbit di bolehmerokok.com
0 komentar:
Posting Komentar