Ketika awal masuk organisasi tempat saya bernaung di kampus,
saya adalah satu dari sekian banyak orang yang cukup sering kena omelan. Pertama
kali datang di pendidikannya, saya sudah dimarahi karena sudah dua kali tidak hadir
di pertemuan sebelumnya. Itu belum ditambah keterlambatan saya datang saat itu.
Semakin menjadilah kemarahan yang dilampiaskan pada saya.
Saat itu saya hanya diam karena sadar saya salah. Walau punya
alasan kenapa tidak hadir di dua pertemuan awal, tetap saja itu hanyalah sebuah
alasan. “Kalau kalian bisa membuat alasan untuk tidak hadir, kenapa tidak
kalian buat alasan untuk bisa hadir dalam setiap agenda kita!” ujar senior saya
saat itu. Dan memang, sebenarnya alasan ketidakhadiran itu, walau tidak
dibuat-buat, tetap saja hanya menjadi dalih kemalasan saya untuk hadir.
Setelah pertemuan itu, saya kemudian sadar bahwa alasan-alasan
dibuat hanya untuk menjadi pembuktian kemalasan. Ada kejadian teman-teman yang
tidak membuat tugas dengan alasan sibuk kuliah. Kalau dipikir-pikir,
teman-teman yang mengerjakan juga sibuk kuliah. Tapi mereka bisa mengerjakan
tanpa harus menjadikan aktifitas mereka sebagai alasan, sebagai hambatan.
Pun ketika ada teman-teman yang tidak hadir karena alasan
mengerjakan tugas kuliah dan semacamnya. Bukan berarti mereka yang tidak
mengerjakan tugas kuliah, hanya saja mereka mampu mengatur jadwal dan serius
mengikuti pendidikan organisasi saat itu.
Hal-hal seperti inilah yang kemudian amat membekas dalam
diri saya. Ketika posisi saya di organisasi telah berganti, dari peserta didik
menjadi penanggungjawab pendidikan, saya kemudian sadar bahwa bebiasaan macam
begini adalah hal pertama yang harus saya enyahkan. Mereka yang mau masuk ke
organisasi saya, harus bisa menyingkirkan kemalasan dan pandai-pandai mengatur
jadwal. Kapan wajtu dan pikiran mereka fokuskan untuk perkara kuliah, dan kapan
mereka harus fokus untuk organisasi.
Kedisiplinan adalah kunci. Keterlambatan adalah sesuatu yang
fatal. Mengingat organisasi tempat saya bernaung bergerak di bidang
jurnalistik, garis mati sama sekali tak boleh dilanggar.
Karenanya keterlambatan, sekecil apapun tak bisa saya
tolerir. Ini bukan perkara sikap sok disiplin. Tapi keterlambatan bisa membuat mereka
kehilangan berita karena ditinggal narasumber atau kehilangan momen karena
telat meliput.
Begitu pun dalam dunia pekerjaan. Keterlambatan bisa membuat
kredibilitas seseorang jatuh. Karena telat mengerjakan proyek, kepercayaan dari
klien bisa saja hilang dan membuat anda kehilangan pekerjaan.
Sayangnya, perkara tepat waktu adalah hal yang masih agak
sulit saya temui dalam kehidupan teman-teman yang masih aktif di organisasi. Ketika
membuat acara diskusi, acara ngaret sudah biasa. Ketika janjian rapat, masih
datang telat. Telat satu dua jam dianggap biasa. Telat tiga jam bisa selesai
dengan perkara maaf sembari cengengesan.
Sialnya, seiring waktu berjalan hal-hal semacam ini tidak
pernah berubah. Telat adalah hal biasa, yang tepat waktu dianggap luar biasa. Mungkin
inilah yang membuat masyarakat menganggap banjir atau macet adalah hal biasa. Kerena
terlalu sering dirasakan, hal ini dianggap sebagai sebuah realitas yang biasa
saja.
Begitu pun dengan urusan terlambat. Karena sudah terlalu
sering telat, kebiasaan jelek ini dianggap sebagai sebuah hal biasa. Bukannya membiasakan
yang benar, kebanyakan kita lebih sering membenarkan yang biasa terjadi. Mana yang
mau anda pilih?
0 komentar:
Posting Komentar