Aditia Purnomo

Mana Yang Kita Pilih?

Leave a Comment

Ketika awal masuk organisasi tempat saya bernaung di kampus, saya adalah satu dari sekian banyak orang yang cukup sering kena omelan. Pertama kali datang di pendidikannya, saya sudah dimarahi karena sudah dua kali tidak hadir di pertemuan sebelumnya. Itu belum ditambah keterlambatan saya datang saat itu. Semakin menjadilah kemarahan yang dilampiaskan pada saya.

Saat itu saya hanya diam karena sadar saya salah. Walau punya alasan kenapa tidak hadir di dua pertemuan awal, tetap saja itu hanyalah sebuah alasan. “Kalau kalian bisa membuat alasan untuk tidak hadir, kenapa tidak kalian buat alasan untuk bisa hadir dalam setiap agenda kita!” ujar senior saya saat itu. Dan memang, sebenarnya alasan ketidakhadiran itu, walau tidak dibuat-buat, tetap saja hanya menjadi dalih kemalasan saya untuk hadir.

Setelah pertemuan itu, saya kemudian sadar bahwa alasan-alasan dibuat hanya untuk menjadi pembuktian kemalasan. Ada kejadian teman-teman yang tidak membuat tugas dengan alasan sibuk kuliah. Kalau dipikir-pikir, teman-teman yang mengerjakan juga sibuk kuliah. Tapi mereka bisa mengerjakan tanpa harus menjadikan aktifitas mereka sebagai alasan, sebagai hambatan.

Pun ketika ada teman-teman yang tidak hadir karena alasan mengerjakan tugas kuliah dan semacamnya. Bukan berarti mereka yang tidak mengerjakan tugas kuliah, hanya saja mereka mampu mengatur jadwal dan serius mengikuti pendidikan organisasi saat itu.

Hal-hal seperti inilah yang kemudian amat membekas dalam diri saya. Ketika posisi saya di organisasi telah berganti, dari peserta didik menjadi penanggungjawab pendidikan, saya kemudian sadar bahwa bebiasaan macam begini adalah hal pertama yang harus saya enyahkan. Mereka yang mau masuk ke organisasi saya, harus bisa menyingkirkan kemalasan dan pandai-pandai mengatur jadwal. Kapan wajtu dan pikiran mereka fokuskan untuk perkara kuliah, dan kapan mereka harus fokus untuk organisasi.

Kedisiplinan adalah kunci. Keterlambatan adalah sesuatu yang fatal. Mengingat organisasi tempat saya bernaung bergerak di bidang jurnalistik, garis mati sama sekali tak boleh dilanggar.

Karenanya keterlambatan, sekecil apapun tak bisa saya tolerir. Ini bukan perkara sikap sok disiplin. Tapi keterlambatan bisa membuat mereka kehilangan berita karena ditinggal narasumber atau kehilangan momen karena telat meliput.

Begitu pun dalam dunia pekerjaan. Keterlambatan bisa membuat kredibilitas seseorang jatuh. Karena telat mengerjakan proyek, kepercayaan dari klien bisa saja hilang dan membuat anda kehilangan pekerjaan.

Sayangnya, perkara tepat waktu adalah hal yang masih agak sulit saya temui dalam kehidupan teman-teman yang masih aktif di organisasi. Ketika membuat acara diskusi, acara ngaret sudah biasa. Ketika janjian rapat, masih datang telat. Telat satu dua jam dianggap biasa. Telat tiga jam bisa selesai dengan perkara maaf sembari cengengesan.

Sialnya, seiring waktu berjalan hal-hal semacam ini tidak pernah berubah. Telat adalah hal biasa, yang tepat waktu dianggap luar biasa. Mungkin inilah yang membuat masyarakat menganggap banjir atau macet adalah hal biasa. Kerena terlalu sering dirasakan, hal ini dianggap sebagai sebuah realitas yang biasa saja.


Begitu pun dengan urusan terlambat. Karena sudah terlalu sering telat, kebiasaan jelek ini dianggap sebagai sebuah hal biasa. Bukannya membiasakan yang benar, kebanyakan kita lebih sering membenarkan yang biasa terjadi. Mana yang mau anda pilih?
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar