Pada siang hari yang terik ketika puluhan ribu buruh sedang
berdemo menolak Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan,
pejabat teras Pemprov Jakarta, tengah melakukan aksi senyap. Tak ada yang
menyangka, tak ada yang mengira, bapak Ahok tercinta mengeluarkan Peraturan
Gubernur terbaru tentang Demonstrasi. Yak, mengatur perihal demonstrasi.
Dalam peraturan tersebut, Ahok menegaskan bahwa hanya ada
tiga lokasi yang boleh dipakai untuk berdemo, yakni Parkir Timur Senayan,
Alun-alun Demokrasi DPR, dan Silang Selatan Monas. Selain itu tidak boleh,
apalagi kalau demo di Balaikota Jakarta tempat Ahok ngantor. Alasannya, jelas
saja karena demo itu mengganggu ketentraman hidup warga ibukota.
Bagaimana tidak mengganggu, sudah yang demo itu bukan warga
dengan KTP Jakarta, bikin jalanan kotor dengan sampah-sampah yang berserakan,
dan yang paling parah tentu bikin macet. Bikin macet, catat itu. Sudah
susah-susah warga Jakarta bayar pajak mahal masa masih kena getah kemacetan
dari demonstrasi.
Karena itulah, Pergub ini harus didukung penuh warga
Jakarta. Bayangkan saja Jakarta tanpa demo, tentu warga tetap nggak
bakal kena macet lagi, ya masa macet hilang cuma karena nggak ada yang
demo lagi. Tapi ya minimal, kalau demo cuma dilakukan di tiga tempat tadi nggak
bakal deh buruh kena nyinyir kelas menengah (ngehek). Jelas-jelas demonya di
tempat tertutup yang sudah disediakan, nggak bakal melanggar hak warga
Jakarta.
Lagian kalian ini tahu kan Parkir Timur Senayan biasa
dipakai buat apa? Paling kalau ada yang mau demo harus rebut-rebutan sama acara
kayak Jackcloth, Hayday, atau konser-konser lain. Atau, konsernya digabung sama
yang demo, biar kuat-kuatan yang paling keras sound systemnya.
Terus Alun-alun Demokrasi, dari namanya aja udah ngeri.
Tempat ini memang sengaja dibuatkan oleh anggota dewan agar mereka yang demo
nggak perlu panas-panasan lagi di jalanan. Di Alun-alun ini, sudah disediakan
tenda yang cukup luas biar orator yang mimpin aksi nggak kehabisan suara
gara-gara kepanasan. Kurang apa coba, bisa teriak sekencang-kencangnya tanpa
mengganggu orang lain, termasuk anggota dewan yang didemo.
Nah kalau di Monas, yang aksi malah difasilitasi Ahok buat
wisata gratis di sana. Palingan cuma bayar kalau mau naik lift Monas atau beli
air minum saja. Daripada aksi di depan istana tapi masih foto-foto di Monas
juga, mending sekalian aksi di Monas lah.
Lagipula Pergub ini nggak melarang orang buat demo, nggak
melarang orang buat menyampaikan aspirasi. Catat itu. Pergub ini cuma
memastikan demo ada di tempat yang benar-benar sepi hingga nggak ganggu
orang lain, apalagi ganggu pemerintah dan parlemen.
Meski sebenarnya, ada satu tempat yang luput dari pandangan
Ahok buat orang-orang demo. Yak, betul. Harusnya linimasa twitter juga
dijadikan salah satu tempat demonstrasi yang diperbolehkan. Selain nggak bakal
bikin jalanan macet kayak mobil-mobil kelas menengah ngehek itu, demo di
twitter paling mentok cuma nyampah di timeline.
Tapi jangan salah sangka dulu. Kalau mahasiswa jomblo nan
proletar macam saya bilang revolusi berawal dari warung kopi, sekarang udah
beda zaman bos. Revolusi dimulai dari Twitter, pake hestek. Nggak percaya, coba
tanya #TemanAhok yang getol banget belain Pergub ini di twitter.
Kita mesti belajar dari Ahok dan teman-temannya. Perkara
menyampaikan aspirasi dan menolak kebijakan nggak perlu menggunakan aksi massa.
Cukup ngeluh di twitter aja, asal jangan mengumpat biar nggak kena pasal Hate
Speech. Toh orang-orang macam Jonru pun masih bisa bermimpi bikin revolusi
dengan hestek, ya kan?
0 komentar:
Posting Komentar