Aditia Purnomo

Jangan Salah Mengartikan Mogok Buruh

Leave a Comment

Pekan ini, kaum buruh Indonesia sedang melaksanakan aksi mogok nasional untuk menolak Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Jutaan buruh di Indonesia, secara serentak menghentikan aktivitas produksi perusahaan sebagai bentuk perlawanan mereka terhadap PP tersebut.

Aksi dilakukan di berbagai daerah, memulainya dari kawanan industri hingga berkumpul bersama di titik-titik strategis daerah tersebut. Di Tangerang, misalnya, pintu tol bitung adalah mimbar utama para buruh menyampaikan aspirasinya.

Aksi mogok nasional ini dilakukan karena upaya dialog dan langkah lain yang diusahakan oleh buruh menemui jalan buntu. Pemerintah tetap saja meneken PP Pengupahan, lalu pengusaha senang sementara buruh merana. Kenapa begitu, jelas karena PP Pengupaan sama sekali tidak berupaya melindungi buruh dari kesewenang-wenangan upah.

Secara umum, kelompok buruh menolak PP tersebut karena tiga hal utama. Pertama, formulasi pengupahan terbaru tidak lagi didasari pada instrumen poin kebutuhan hidup layak. Formulasi didasarkan pada pertumbuhan ekonomi dan inflasi, yang kemudian dikalikan dengan upah pada tahun berlaku. Dalam formulasi ini, tidak ada jaminan kestabilan harga pasar yang mempengaruhi daya beli buruh dengan upah seadanya.

Kedua, hilangnya peran serikat buruh dalam pengambilan kebijakan soal upah. Selama ini peran serikat buruh sebagai garda depan perjuangan pengupahan menjadi poin penting kesejahteraan buruh melalui kenaikan upah. Kini dengan hilangnya peran serikat, siapa yang bisa mengawal kebijakan kenaikan upah?

Ketiga, dan bukan terakhir, peninjauan komponen kebutuhan hidup layak yang dilakukan 5 tahun sekali. Hal ini jelas sangat tidak realistis mengingat komponen yang hari ini berlaku saja sudah tidak relevan dengan kebutuhan hidup buruh.

Selain itu, masih ada beberapa hal yang menjadi alasan PP Upah ini mesti ditolak. Misal, hingga hari ini masih ada 23 provinsi yang upah minimumnya di bawah standar kebutuhan hidup layak. Jika formulasinya berdasarkan upah berlaku saat ini, maka kenaikan upah tetap membuat mereka hidup di bawah standar hidup layak.

Pemerintah sendiri hingga hari ini masih gagal melindungi buruh dari perlakuan nakal pengusaha. Penangguhan kenaikan upah masih sangat banyak terjadi tiap tahunnya. Belum sengketa industrial lainnya seperti pesangon yang tak dibayarkan, PHK sepihak tanpa alasan, dan masih banyak lainnya.

Karenanya, setelah dialog dan aksi yang dilakukan tak mendapat hasil, kaum buruh bersepakat untuk menggelar mogok nasional selama empat hari. Mogok nasional tahun ini sendiri agak spesial, karena hampir seluruh elemen serikat menyepakati dan memilih berjuang bersama. Sebelumnya, mogok nasional tak pernah seramai ini (dalam hal kesepakatan elemen serikat).

Kemudian kenapa yang dipilih adalah mogok, bukankah mogok kerja bakal membuat perusahaan merugi dan bisa jadi memilih menutup perusahaannya?

Yang jelas mogok adalah hak setiap pekerja yang dilindungi berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dimana pada pasal 137 Undang-undang tersebut berbunyi, “mogok kerja harus dilakukan secara sah, tertib dan damai sebagai akibat dari gagalnya perundingan”. Maka, jelas sudah kalau mogok diperbolehkan undang-undang.

Lalu soal kerugian, bukan cuma perusahaan yang merasakan rugi. Karena selama melakukan mogok kerja, upah buruh tidak dibayarkan sepanjang hari ia mogok. Jadi, mogok sendiri memiliki konsekuensi perjuangannya sendiri.

Selain itu, kerugian perusahaan memang menjadi salah satu target dari aksi mogok. Tujuannya jelas, agar pengusaha sadar kalau buruh adalah elemen penting dalam produksi. Bukan sekadar pelengkap apalagi budak. Karenanya, dalam aksi mogok kerja selalu mengupayaka berhentinya proses produksi secara total.

Perkara urusan pengusaha ingin mencabut investasinya, ya silakan saja. Kaum buruh yang sadar tidak bakal gentar dengan hal macam itu. Karena dengan menutup perusahaan, pengusaha bakal kehilangan sumber pemasukan dan akan mengeluarkan ongkos besar sebagai upaya menutup perusahaannya. Ingat, kalau buruh dipecat selalu ada ‘pesangon’ yang harus dibayarkan.

Lalu, setelah penjelasan di atas mengenai asalan-alasan kenapa para buruh mogok nasional masih saja ada kelas menengah yang mencibir perjuangan buruh, ya biarkan saja. Mereka hanya manusia bermental inlander yang masih saja berpikir kalau buruh adalah budak dan tidak boleh sejahtera.

Lagipula, mana mau mereka membaca tulisan macam ini dan perkara substansial yang dihadapi buruh. Wong skripsi aja mungkin banyakan copy paste daripada tulisan sendiri.

(Pertama diterbitkan di Mahasiswa Bicara)
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar