Ada baiknya mulai besok saya berhemat. Mengubah gaya hidup yang konsumtif menjadi sederhana dan seadanya. Agar nantinya nggak perlu lagi ada kenaikan upah dan demo-demo buruh.
Saya perlu mengamalkan spirit kapitalisme dengan semangat menerima nasib agar tidak banyak melakukan protes terhadap perusahaan. Apabila saya menerima gaji yang pas-pasan ya diterima saja. Toh masih syukur saya bisa makan, meski sehari dua kali dan hanya dengan tempe atau tahu.
Saya harus percaya kalau ketabahan hidup adalah jalan paling baik menuju surga. Terima saja apa yang ada, jangan banyak mengeluh. Apalagi mengeluh sama pengusaha, eh Tuhan maksudnya.
Lagian mana pantas saya dapat upah yang layak, punya ponsel pintar atau memiliki motor ninja. Hal-hal macam itu cuma boleh dimiliki kelas menengah pekerja kantoran dan pemilik perusahaan.
Untuk bisa bayar kontrakan, saya harus bekerja lebih keras dengan mengambil lemburan. Kalau nggak ya mana bisa bayar. Bisa tidur di kontrakan saja sudah bagus, kok bermimpi beli rumah.
Hal-hal yang enak dan menyenangkan itu cuma punya kelas menengah pekerja kantoran dan pengusaha. Buruh mah nggak boleh ngopi-ngopi di kafe atau nonton di bioskop. Buruh cuma boleh nonton layar tancap.
Masa level kelas menengah pekerja kantoran dan pengusaha harus disamakan sama buruh. Mana boleh. Pengusaha dan kelas menengah pekerja kantoran itu nongkrong di kafe, kalai buruh ya di warkop saja.
Ingat, pengusaha adalah dewa penolong yang memberikan buruh pekerjaan. Kalau nggak ada pengusaha buruh nggak bisa hidup. Kalau nggak ada buruh, pengusaha bisa cari yang baru. Pokoknya yang nurut dan bodoh.
Karena buruh yang demo itu cuma dihasut sama kepentingan serikat. Mana bisa mereka sadar kalau dieksploitasi pengusaha. Ingat, buruh itu bodoh dan layak hidup susah.
0 komentar:
Posting Komentar